TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Center of Reform on Economics atau Core Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menilai kebijakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi membuat hak veto untuk seluruh menteri koordinator, termasuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, tak perlu diformalkan. Ia mengatakan selama ini koordinasi antar-menteri di bawah Menko Perekonomian telah sesuai dengan kebijakan presiden.
"Hak veto itu seharusnya memang ada tanpa perlu diformalkan. Kan menteri itu pembantu presiden. Kebijakannya juga harus sesuai dengan kebijakan presiden,” ujar Piter saat dihubungi Tempo pada Ahad, 27 Oktober 2019.
Menurut Piter, kebijakan hak veto memungkinkan adanya pembatalan kebijakan menteri-menteri oleh menteri perekonomian. Situasi ini malah mencerminkan tidak adanya koordinasi di kabinet. Selain itu, hak veto mencerminkan bahwa Presiden Jokowi tidak mampu menguasai menteri-menterinya.
Kebijakan adanya hak veto sebelumnya diungkapkan oleh Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Menurut dia, para menko nantinya bisa langsung menggunakan hak vetonya kepada menteri yang menyempal tanpa lapor ke presiden. Jika masih ada keraguan, para menko bisa melapor dan berkonsultasi.
Adapun hak veto digadang-gadang bakal sejalan dengan program Omnibus law Jokowi. Keduanya sama-sama bertujuan untuk menyelaraskan aturan dan tindakan.
Meski menyayangkan hak veto diformalkan oleh Jokowi, Piter menyampaikan kebijakan itu memiliki sisi positif. Salah satunya meredam adanya potensi konflik antar-menteri. “Konflik antar-menteri juga besar dan harus diantisipasi,” ucapnya.
Pemberian hak veto kepada para menko juga ditanggapi dingin oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin. Ia menilai ada motif politik di balik kebijakan itu. "Bisa saja ini motif kalau Presiden cuci tangan kalau ada hal yang salah tak mau disalahkan. Sepertinya arahnya ke situ," kata Ujang saat dihubungi Tempo, Sabtu, 26 Oktober 2019.
Ujang menuturkan, tugas para menko sifatnya koordinatif dan tak seharusnya diberikan hak veto. Sebab, menteri-menteri dalam koordinasi memiliki kebijakan yang sama dengan semua menteri, termasuk dengan menko. Sehingga, para menteri bisa langsung ke presiden, bukan ke menko.
Kebijakan lepas tangan, kata akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia ini juga pernah dilakukan Jokowi saat membubarkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI. Dan kebijakan ini akan dikeraskan lagi lewat pemberian hak veto. "Seolah-olah yang disalahkan Menko Polhukam, bukan Pesiden. Ini akan lebih dikeraskan lagi," kata dia.
Selain itu, Ujang juga melihat karena Jokowi sudah tidak bisa mencalonkan di pilpres mendatang, maka menko lah yang menjadi tameng menghadapi kemarahan masyarakat atas kebijakan pemerintah. "Karena kan begini, misalkan terkait masyarakat ingin Perpu KPK, hari ini belum dikeluarkan. Nah ada indikasi tidak dikeluarkan. Kalau masyarakat marah, yang jadi tameng Menko Polhukamnya. Ini sepertinya arahnya ke situ."
FRISKI RIANA