Kelima, perangkat "AOA Disagree" tidak berfungsi pada Boeing 737 Max 8. Akibatnya, pilot tidak bisa melihat adanya AOA Disagree. Sehingga, pilot yang menerbangkan JT 610 sebelumnya dari rute Denpasar-Jakarta--sebelum kecekakaan--tidak melaporkan adanya AOA Disagree. Pilot hanya melaporkan adanya ketidaksesuaian antara AOA bagian kiri dan kanan.
"Pemberitahuan AOA juga tidak muncul selama penerbangan dengan sensor AOA yang salah dikalibrasi, tidak dapat didokumentasikan oleh kru penerbangan," tutur Nurcahyo.
Keenam, pemasangan AOA sensor pesawat mengalami mis-kalibarasi atau ketidaksesuaian sebesar 21 derajat. AOA sensor ini, menurut Nurcahyo, memang sudah dipasang di pesawat milik Lion Air Group, yakni Malindo Air namun mengalami kerusakan dan dikirim ke bengkel. Setelah diperbaiki, AOA ini dikirim kembali ke Batam. Saat dikirim kembali, miskalibrasi ini tidak terdeteksi.
"Ketujuh, saat pemasangan AOA sensor di Bali, kita tidak bisa lihat apakah AOA sensor sudah dilakukan dengan benar. Miskalibrasi ini yang kami lihat tidak bisa terdeteksi sehingga kami tidak bisa menentukan apa pemasangan ini sukses atau tidak," Nurcahyo menjelaskan.
Kedelapan, pilot Denpasar-Jakarta tidak melaporkan log perawatan mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-normal runaway stabilizer pada penerbangan sebelumnya. Sehingga, tidak tercatat pada buku catatan penerbangan.
Itu berarti, informasi yang disampaikan kepada kru pemeliharaan pesawat di Jakarta tidak lengkap. Karenanya, kru tak dapat mengambil tindakan yang sesuai.
Pilot Denpasar-Jakarta hanya melaporkan log perawatan tentang stick shaker kontinyu dan stabilizer NNC yang mengalami gangguan. Itu berarti, informasi yang disampaikan kepada kru pemeliharaan pesawat di Jakarta tidak lengkap. Karenanya, kru tak dapat mengambil tindakan yang sesuai.
"Terakhir, kami temukan beberapa indikasi atau peringatan yang menyala. Lalu MCAS aktif berulang-ulang. Kondisi ini tidak bisa dikelola dengan baik," Nurcahyo memaparkan.