Data statistik lain mencatat bahwa angka impor TPT nasional untuk serat dan kain tidak mengalami kenaikan signifikan selama 3 tahun terakhir. Pada 2017 misalnya impor mencapai US$ 4,7 miliar, pada 2018 US$ 4,9 miliar dan sampai September 2019 angkanya baru mencapai US$ 3,7 miliar.
Menurut Sri Mulyani persoalan ini bermula dari kapasitas dan investasi industri hulu TPT yang meningkat namun daya serapnya rendah untuk bisa masuk ke industri tengah. Akibatnya, pasar industri hulu hanya menjadi pasar ekspor semata. Pada saat bersamaan industri tekstil di tengah sedang menghadapi permasalahan lingkungan dan mesin produksi yang sudah tua.
"Hal ini menyebabkan tertekannya industri hilir TPT nasional selain juga tidak adanya pembatasan untuk impor pakaian jadi," kata Sri Mulyani.
Sebelumnya beredar kabar bahwa impor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dilakukan oleh industri diduga telah bocor ke pasaran. Kementerian Perdagangan pun meresponsnya dengan berjanji mengecek kembali proses impor tekstil tersebut.
Untuk proses audit itu, Enggar akan melibatkan Kementerian Perindustrian, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri. "Satgasnya terdiri dari itu untuk mengaudit kapasitas industri dan berapa kebutuhannya," katanya di Batu, Jawa Timur, Rabu 2 Oktober malam.
Enggartiasto belum bisa memberikan kepastian letak potensi kebocoran impor TPT. Namun, dia menduga kebocoran impor tekstil tersebut bukan terletak di Pusat Logistik Berikat (PLB).
DIAS PRASONGKO | ANTARA