Proyek PLTA dikerjakan merujuk pada Perjanjian Paris yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016. PLTA Batang Toru digadang-gadang dapat berperan mengurangi emisi karbon sebesar 1,6-2,2 MTON per tahun.
Sebelumnya Majalah Tempo edisi 16 Maret 2019 menulis bahwa para ilmuwan yang meneliti Batang Toru cemas keberadaan pembangkit listrik membuat ekosistem oangutan tergeser. Konservasionis asal Belanda, Serge A. Wich, mengatakan jumlah orangutan makin berkurang sejak ada aktivitas manusia.
Tim peneliti dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan orangutan di Tapanuli yang berada di blok sisi tengah membuat sarang lebih tinggi ketimbang orangutan di blok barat dan timur. Orangutan membuat sarang 15 meter di sisi atas dan bergelantungan di dahan 30 meter. Ketinggian ini diduga menghindarkan orangutan dari bahaya yang mengancam.
Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) juga mengkhawatirkan orangutan terancam punah akibat dampak pembangunan bendungan PLTA Batangtoru, Tapanuli Selatan, yang bernilai Rp21 triliun. Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) mengkhawatirkan orangutan terancam punah akibat dampak pembangunan bendungan PLTA Batangtoru, Tapanuli Selatan, yang bernilai Rp21 triliun.
Manager Harian Program Batang Toru Yayasan Ekosistem Lestari, Burhanuddin, melalui keterangan persnya yang diterima Rabu, 1 Mei 2019, menyebutkan bangunan PLTA Batang Toru yang dikerjakan PT North Sumatera Hydro Energi (NSHE) dapat mengancam ekosistem Batangtoru yang memiliki berbagai ragam hayati baik flora dan fauna.
Pembangunan PLTA Batangtoru dinilai dapat mengakibatkan koridor atau perlintasan spesies langka orang utan dari blok Barat ke blok Timur dan blok Selatan terputus.
Terputusnya koridor tersebut juga dikhawatirkan dapat mengancam populasi dan perkembangbiakan orangutan yang diperkirakan jumlahnya sekitar 800 ini.
Ancaman lain dari PLTA Batangtoru, juga terkait gempa dan rusaknya ekosistem Batangtoru yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna langka seperti raflesia, hutan, harimau Sumatera, tapir, rangkong bertanduk, dan lainnya.
"Bendungan PLTA berada dekat dengan daerah patahan tektonik dan apabila gempa dikhawatirkan kawasan sekitar terancam banjir yang berakibat fatal bagi kehidupan baik manusia maupun satwa liar di daerah tersebut," kata Burhanuddin.