TEMPO.CO, New York - Pasca serangan terhadap fasilitas minyak mentah Arab Saudi, Saudi Aramco, harga minyak melonjak hampir 15 persen pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB, 17 September 2019), dengan Brent mencatat lompatan terbesar dalam lebih dari 30 tahun di tengah rekor volume perdagangan. Serangan terhadap Saudi Aramco diperkirakan memotong separuh produksi kerajaan dan memicu kekhawatiran akan pembalasan di Timur Tengah.
Minyak mentah Brent, patokan internasional, ditutup pada US$ 69,02 per barel, melonjak US$ 8,80 atau 14,6 persen, kenaikan persentase satu hari terbesar sejak setidaknya 1988. Brent berjangka melihat lebih dari dua juta kontrak diperdagangkan, rekor volume harian sepanjang masa, kata juru bicara wanita Intercontinental Exchange, Rebecca Mitchell.
Sementara itu, patokan AS, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) berakhir pada US$ 62,90 per barel, melompat US$ 8,05 atau 14,7 persen -- kenaikan persentase satu hari terbesar sejak Desember 2008.
Serangan drone terhadap dua fasilitas kilang milik Saudi Aramco di Abqaiq, Arab Saudi, terjadi pada Sabtu pekan lalu waktu setempat. Serangan itu meningkatkan ketidakpastian di pasar yang relatif tenang dalam beberapa bulan terakhir. Serangan tersebut memicu kekhawatiran berkurangnya pasokan minyak mentah dari Arab Saudi, yang secara tradisional menjadi pemasok terakhir di dunia.
Indeks volatilitas pasar minyak mencapai level tertinggi sejak Desember tahun lalu. Aktivitas perdagangan menunjukkan investor memperkirakan harga lebih tinggi dalam beberapa bulan mendatang.
"Serangan terhadap infrastruktur minyak Saudi datang sebagai sebuah guncangan dan kejutan," kata Tony Headrick, analis pasar energi di St. Paul, Minnesota, pialang komoditas CHS Hedging LLC.
Arab Saudi adalah eksportir minyak terbesar di dunia dan, dengan kapasitas cadangan yang relatif besar. Arab Saudi telah menjadi pemasok terakhir selama beberapa dekade.