Serangan akhir pekan terhadap fasilitas pemrosesan minyak mentah milik produsen Saudi Aramco di Abqaiq dan Khura memangkas produksi sebesar 5,7 juta barel per hari dan menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuannya untuk mempertahankan ekspor minyak. Perusahaan belum memberikan garis waktu khusus untuk dimulainya kembali hasil penuh.
Dua sumber yang diberi pengarahan singkat tentang operasi Aramco mengatakan pengembalian penuh ke produksi normal "mungkin memakan waktu berbulan-bulan."
Indeks Volatilitas Minyak Mentah Chicago Board Options Exchange, ukuran premi opsi berdasarkan pergerakan dana yang diperdagangkan di bursa minyak AS, naik menjadi 77,17, level tertinggi sejak Desember tahun lalu.
Serangan-serangan yang kemudian memukul pasokan kemungkinan akan membuat harga naik untuk beberapa waktu. Aktivitas pemesanan kargo minyak mentah dan tarif pengiriman untuk pengiriman dari Gulf Coast AS naik selama akhir pekan dan pada Senin (16/9/2019), kata seorang broker kapal. Harga minyak mentah regional Teluk yang diperdagangkan secara bebas (over-the-counter) lebih tinggi dalam mengantisipasi tawaran pengiriman lebih banyak dari AS.
Amerika Serikat mengekspor sekitar tiga juta barel minyak per hari dan dapat meningkatkan pengiriman lebih lanjut.
Importir utama minyak mentah Saudi, seperti India, Cina, Jepang, dan Korea Selatan, akan menjadi yang paling rentan terhadap gangguan pasokan. Korea Selatan telah mengatakan akan mempertimbangkan melepaskan minyak dari cadangan strategisnya.
Presiden AS Donald Trump menyetujui pelepasan minyak dari Cadangan Minyak Strategis AS, yang menampung lebih dari 640 juta barel minyak mentah.
Ekspor minyak Saudi akan berlanjut seperti biasa minggu ini karena kerajaan memanfaatkan stok dari fasilitas penyimpanannya yang besar, sumber industri menjelaskan tentang perkembangan tersebut kepada Reuters. Namun, serangan itu telah menimbulkan kekhawatiran tentang berapa lama kerajaan akan mampu mempertahankan pengiriman minyaknya.
Lonjakan awal harga minyak pada Minggu (15/9/2019) adalah yang terbesar untuk minyak mentah Brent sejak krisis Teluk 1990-1991, sebelum mundur kembali karena berbagai negara mengatakan mereka akan memanfaatkan pasokan darurat untuk menjaga dunia dipasok dengan minyak.
ANTARA