TEMPO.CO, JAKARTA - Direktur Utama Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris mengatakan peningkatan layanan menjadi agenda utama. “Jadi kalau ada keseimbangan sehat antara iuran dan pengeluaran tentu jadi fokus kita untuk meningkatkan layanan,” kata Fahmi Idris di Kompleks Parlemen, Senin 2 Agustus 2019. Dia tak berkilah jika banyak yang mempertanyakan keadilan layanan bagi peserta khususnya dari kalangan yang disubsidi jika berobat.
Terbatasnya kapasitas BPJS Kesehatan untuk menanggung gap pengeluaran yang tertagih disebabkan iuran yang nilainya di bawah batas kewajaran dan tak naik sejak lama. Padahal setiap dua tahun sekali iuran seharusnya dipertimbangkan untuk naik.
Adapun rekanan fasilitas kesehatan baik berupa pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), klinik swasta, rumah sakit umum daerah, hingga rumah sakit swasta selalu menagihkan biaya dengan harga terbaru.
Bekas Ketua Ikatan Dokter Indonesia tersebut menyambut baik perhatian pemerintah yang bakal segera menaikkan iuran peserta BPJS. Adapun kenaikan iuran meliputi Peserta Bantuan Iuran (subsidi) untuk lebih dari 130 juta warga berpenghasilan rendah. Dan 35 juta peserta dari kalangan bukan pekerja dan pensiunan.
Skema kenaikan harga ini diharapkan bisa membalikkan tren defisit program Jaminan Kesehatan Nasional sejak 2015.
BPJS Kesehatan memprediksi tanpa ada kenaikkan iuran, defisit keuangan bakal menganga hingga Rp 77,9 triliun selama lima tahun mendatang. Untuk menanggulanginya, Fahmi mengatakan BPJS bakal meningkatkan kepatuhan pembayaran peserta. Saat ini BPJS Kesehatan sedang merancang sistem pembayaran auto debit atau potongan otomatis dari rekening perbankan setiap bulannya.
Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso mengatakan kewajiban pembayaran iuran dengan autodebet berlaku pada peserta umum. "Sudah sejak awal tahun ini, dan berlaku pada PBPU (peserta bukan penerima upah) alias umum," kata Kemal. Pelan-pelan, ujarnya, seluruh peserta yang sudah terdaftar juga akan diterapkan secara menyeluruh.