TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM Yunus Saefulhak memprediksi limbah tambang slag atau terak yang berasal dari pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter berpotensi mencapai 35 juta ton per tahun pada 2021. Angka ini mengkhawatirkan karena naik 75 persen dari saat ini 20 juta ton per tahun.
Yunus mengungkapkan selama ini slag hanya dikumpulkan dan ditimbun di suatu tempat. “Semakin lama kan semakin menyulitkan," ujarnya usai rapat koordinasi di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Jumat, 30 September 2019.
Slag menurut Peraturan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan termasuk dalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun atau B3 sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Namun, di negara lain, telah memanfaatkan slag sebagai bahan baku bangunan, bahan pengerasan jalan, bahkan bahan baku pembuatan pupuk tanaman.
Yunus menuturkan, pemerintah tengah merencanakan untuk membuat aturan, di mana slag bisa dimanfaatkan kembali agar tidak terjadi pencemaran. "Itu kan dikategorikan sebagai limbah B3 nah bagaimana supaya limbah B3, slag ini bisa dimanfaatkan. Untuk dimanfaatkan untuk pengerasan, untuk fondasi jalan pengerasan jalan, untuk industri semen, infrastruktur, batako, dan sebagainya," kata dia.
Negara yang dimaksud, seperti Kanada dan Amerika Serikat. Saat ini, pemerintah tengah mengupayakan hal yang sama, melalui perubahan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. "Nah setelah nanti kemudahan perizinan nya, nanti dibuat aspek-aspek prosedurnya, prosedur secara SOP, untuk mengelola itu (slag), jadi yang dahulunya tidak boleh jadi boleh," ujarnya.
Pemerintah juga mempertimbangkan tempat pengolahan slag di lubang bekas tambang yang telah dihijaukan. Namun, hal ini memerlukan addendum dokumen reklamasi. "Rencana reklamasi karena dulunya tidak ada slag yang masuk jadi sekarang harus ada slag yang masuk berarti harus ada kajian, jadi sudah ada mulai solusi," tambah Yunus.