TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia atau BI Perry Warjiyo mengatakan dunia saat ini tengah menghadapi perubahan-perubahan fundamental, seperti meredupnya globalisasi, munculnya sentimen anti perdagangan global, dan meningkatnya digitalisasi. Situasi ini pun memperbesar ketidakpastian ekonomi global beberapa waktu terakhir.
Dalam situasi seperti ini, kata dia, bank sentral di seluruh dunia menghadapi tantangan, terutama di negara-negara maju. “Di mana, efek dari kebijakan moneter untuk menciptakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi berkurang,” kata Perry dalam Konferensi Internasional Bulletin of Monetary Economics and Banking (BMEB) ke-13 di Bali, Kamis, 29 Agustus 2019.
Sehingga, kata dia, kebijakan moneter seperti penyesuaian suku bunga saja tidak cukup untuk mencapai dua tujuan yaitu stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Di beberapa negara maju, kata dia, suku bunga bisa mencapai 0 persen, namun tetap kurang ampuh menjaga stabilitas harga. Dengan begitu, kata dia, bank sentral seharusnya bisa melengkapi lagi dengan kebijakan lain, seperti kebijakan stabilitas uang yang beredar.
Di sisi lain, bank sentral biasanya melakukan penyesuaian pada suku bunga untuk menarik masuk arus modal asing ke negaranya. Sehingga investasi masuk dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA). Namun, itu dahulu, saat aliran arus modal ini lebih banyak dipengaruhi perbedaan nilai tukar antar negara alias interest rate parity. Tapi kini, kata Perry, arus modal tak lagi hanya dipengaruhi oleh nilai tukar tersebut. Ada banyak resiko lain, seperti stabilitas ekonomi dan kondisi politik di sebuah negara.
Sebelumnya, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan investasi belum bisa tumbuh tinggi karena masih menghadapi masalah seperti perizinan, pembebasan lahan, pengupahan, hingga konsistensi kebijakan pemerintah pusat.
Baca Juga:
Selama masalah ini tidak diselesaikan, Piter meyakini investasi tidak akan mengalami lompatan, khususnya di Foreign Direct Investment (FDI). “Walau ada penurunan suku bunga dua sampai tiga kali di tahun ini,” kata dia saat ditemui dalam Press Talk Katadata di FX Sudirman, Kamis, 25 Juli 2019.
Sementara itu, Kepala Institut Bank Indonesia, Solikin M. Juhro, mengatakan suku bunga hanyalah salah satu faktor untuk menarik investasi asing ke Indonesia. Namun semakin ke sini, investor juga semakin mempertimbangkan faktor premi risiko. Sekalipun suku bunga di sebuah negara tinggi, arus modal belum tentu masuk jika ada faktor lain seperti konflik politik.
“Misal saya mau invest di Bhutan, suku bunga 10 persen, tapi ada konflik, saya ga berani menanamkan modal di sana,” kata dia. Resiko politik inilah yang menjadi salah satu resiko terbesar yang mempengaruhi masuknya arus modal, sekalipun sudah ada penyesuaian suku bunga. Sementara faktor lain seperti defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) biasanya masih bisa diterima.
AJAR PEBRIANTO