“Sehingga pada akhirnya cenderung menimbulkan biaya tinggi, serta mudah diarahkan pada godaan praktek monopoli atau kartel,” kata dia kepada Tempo.
Namun, Hendrikus menuturkan dalam konteks fintech lending penyelenggara fintech tak memiliki kekuatan untuk menetapkan harga atau biaya bunga pinjaman. “Mereka hanya menjodohkan selanjutnya setiap pihak bersepakat untuk saling mengikat secara legal.” Ihwal pengaturan bunga pinjaman, OJK tidak terlalu jauh masuk meregulasi fintech lending atau menerapkan prinsip self regulatory dengan tetap memberikan pengawasan dan pendampingan.
Dia menjelaskan untuk melindungi kepentingan konsumen dalam code of conduct AFPI telah ditetapkan bahwa toal bunga dan biaya pinjaman melalui fintech lending legal yang disepakati antara lender dan borrower tak boleh melampaui 0,8 persen per hari. “Biaya yang dikenakan mencakup biaya verifikasi kebenaran data pengguna, biaya uji scoring dan biaya operational collection,” ucapnya.
Hendrikus mengatakan kajian KPPU dalam menguji dugaan kartel atau monopoli dalam fintech lending membutuhkan pemahaman yang lebih baik mengenai praktek marketplace lending yang jauh berbeda dengan bisnis modal pinjaman konvensional, seperti milik perbankan yang umum dikenal selama ini. “Dalam industri fintech lending, tingkat bunga sepenuhnya menjadi kesepakatan demokratis antara lender dan borrower.”
Penyelenggara fintech lending juga bukan tanpa upaya untuk menekan tingkat bunganya lebih efisien dan kompetitif. CEO & Co-Founder Akseleran Ivan Tambunan mengatakan strategi yang dilakukan di antaranya adalah terus memperbanyak jumlah pemberi pinjaman (lender). “Ini bisa lender ritel atau institusional,” katanya. Meski demikian, menurut Ivan pada akhirnya tingkat suku bunga pinjaman tetap ditentukan berdasarkan profil risiko penerima pinjaman dan produk pinjaman terkait. “Sejauh ini rata-rata bunga yang diberikan Akseleran sebeesar 18-21 persen per tahun atau 1,5-1,75 persen per bulan,” ujar dia.
GHOIDA RAHMAH