TEMPO.CO, Jakarta - Tekanan Uni Eropa terhadap produk biodiesel dari Indonesia dinilai lebih besar ketimbang kepada Malaysia yang sesama produsen minyak kelapa sawit (CPO). Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, tekanan tersebut salah satunya akan berdampak kepada kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan.
“Tahun ini tambahan produksi CPO kita akan mencapai 4 juta ton, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang biasanya hanya 2 juta ton. Tanpa ada pasar ekspor yang besar atau konsumsi domestik yang tinggi, tentu kondisi ini akan menjadi beban bagi kita,” ujarnya, kepada Bisnis, Senin 29 Juli 2019.
Joko mengatakan, kelebihan produksi CPO pada tahun ini disebabkan oleh penambahan jumlah tanaman dan lahan sawit yang dilakukan dalam 10—15 tahun lalu. Indonesia, menurutnya, terbilang ekspansif dibandingkan Malaysia dalam menambah luasan dan jumlah tanaman sawit.
Malaysia selama ini sangat terbatas dalam menambah luasan dan jumlah tanaman sawitnya, lantaran ketersdiaan lahannya mulai tergerus oleh kebutuhan perumahan. Akibatnya, kondisi kelebihan stok di Malaysia tidak setinggi Indonesia.
“Berkaca pada kondisi itu, dengan skema Renewable Energy Directive II yang diterapkan UE kepada Malaysia dan Indonesia, tentu dampaknya akan lebih besar kepada kita. Sebab beban volume CPO Indonesia yang bisa tak tersalurkan melalui ekspor ke Eropa akan lebih besar. Belum lagi saat ini kita juga akan dihambat ekspor biodieselnya oleh UE,” Joko menambahkan.
Untuk itu, Gapki mendesak agar pemerintah lebih agresif dalam melakukan perjanjian dagang dengan negara mitra yang melibatkan biodiesel dan CPO sebagai komoditas yang dikerjasamakan. Menurut Joko, Indonesia tertinggal dari Malaysia dalam memanfaatkan CPO sebagai produk pertukaran komoditas yang dilonggarkan bea masuknya di negara mitra dagang.
BISNIS