TEMPO.CO, Jakarta -Rupiah berpotensi menguat dan menembus ke bawah level psikologis Rp 14.000 per dolar AS pada pekan ini. Hal itu dipicu potensi intervensi pemerintah AS untuk melemahkan greenback. Di sisi lain, neraca perdagangan dalam negeri yang diproyeksi defisit akan membatasi penguatan.
BACA: Faktor Global Diprediksi Jadi Sentimen Penguatan Rupiah Hari Ini
Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan adanya kemungkinan pemerintah AS melakukan intervensi ke perdagangan dolar AS untuk menekan nilai greenback menjadi katalis positif bagi rupiah.
"Potensi intervensi AS untuk melemahkan dolar akan memperkuat laju rupiah," ujar Ariston kepada Bisnis, Minggu, 14 Juli 2019.
Dia mengatakan, pergerakan rupiah juga masih akan mendapatkan sentimen dari proyeksi pemangkasan suku bunga acuan AS oleh The Fed.
BACA: Rupiah Menguat Seiring Sinyal 'Dovish' The Fed
Pada pertengahan pekan lalu, Ketua The Fed Jerome Powell menegaskan bahwa pihaknya akan segera bertindak sebagaimana mestinya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi AS yang dibayangi proyeksi pelemahan ekonomi global dan konflik perdagangan dengan China dan negara lainnya.
Tanggapan dovish dari Powell tersebut secara efektif telah meningkatkan harapan pasar terhadap penurunan suku bunga AS sebesar 25 basis poin pada akhir bulan ini.
Mendukung pernyataan tersebut, rilis notulen pertemuan kebijakan The Fed yang digelar Juni lalu juga mencatat bahwa Bank Sentral AS memiliki peluang yang lebih besar atas penurunan suku bunga secara agresif dalam pertemuan The Fed akhir bulan ini.
Kuatnya ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga tersebut, kata Ariston, membuat data PPI inti AS yang dirilis positif pada akhir pekan lalu tidak membawa pengaruh terhadap pelemahan dolar AS.
Dia memproyeksi rupiah bergerak di kisaran Rp13.850 per dolar AS hingga Rp14.160 per dolar AS pada sepanjang perdagangan pekan depan.
Sementara itu, Analis PT Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan pasar masih akan cenderung berhati-hati terhadap perdagangan dolar AS dan rupiah.
Hal tersebut diakibatkan sajian beberapa data ekonomi AS pada pekan lalu, seperti CPI dan PPI, yang berhasil dirilis positif.
"Secara umum kondisi ini dapat membingungkan investor setelah sebelumnya Powell mengirim sinyal dovish. Mungkin saja kondisi ini membuat pelaku pasar belum berani berspekulasi untuk mengoleksi dolar AS," ujar Deddy kepada Bisnis.
Deddy mengatakan, pada pekan ini sesungguhnya nilai tukar rupiah berpotensi untuk bergulir di level Rp14.000 per dolar AS, Apalagi, lanjutnya, setelah rupiah berhasil diapresiasi cukup baik oleh investor hingga akhir pekan lalu.
Kendati demikian, potensi penguatan rupiah juga rawan terkoreksi menyusul pesimisme pelaku pasar terhadap neraca perdagangan dalam negeri periode Juni yang diproyeksi dirilis defisit.
"Tembus ke bawah [level Rp14.000 per dolar AS] bisa saja, hanya saja rawan bila defisit neraca perdagangan semakin lebar," papar Deddy.
Oleh karena itu, dia memprediksi rupiah bergerak di kisaran Rp14.000 per dolar AS hingga Rp14.130 per dolar AS pada perdagangan Senin, 15 Juli 2019.
Pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, Jumat, 12 Juli 2019, rupiah berhasil menguat 0,42% atau 60 poin dan berakhir di level Rp14.008 per dolar AS. Rupiah berhasil menguat melawan dolar AS bersamaan dengan mata uang Asia lainnya.
Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang mayor lainnya tercatat bergerak melemah 0,25 persen menjadi 96,81. Indeks dolar AS telah bergerak melemah sepanjang 3 perdagangan berturut-turut.
Baca berita tentang Rupiah lainnya di Tempo.co.