TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno mengatakan pemerintah harus mempertimbangkan keterbatasan keuangan negara dan kemampuan fiskal daerah terkait wacana penerapan angkutan umum O - Bahn.
Baca juga: Transportasi O - Bahn Diterapkan di Jerman, Australia, dan Jepang
"Apalagi regulasi untuk menerapkannya belum ada. Bisa jadi masalah baru jika belum dilengkapi dengan regulasi," kata Djoko melalui pernyataan tertulis diterima Tempo, 24 Juni 2019.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah mengkaji penerapan O - Bahn, angkutan umum perpaduan antara Bus Rapid Transit alias BRT dan Light Rail Transit alias LRT. Moda ini diklaim lebih efisien dari Transjakarta, kendati modal pembangunannya bisa lebih mahal.
Menurut Djoko, alasan lain adalah teknologinya yang tidak murah dan masih asing di Indonesia. O-Bahn butuh waktu menyiapkan prasarana pendukung dan mempelajari teknologinya. "Untuk lima tahun ke depan cukup sebagai wacana saja," ujarnya.
Dia mengungkapkan wacana dari Kemenhub untuk mengoperasikan O-Bahn sebagai transportasi umum untuk mengatasi kemacetan di beberapa kota di Indonesia dengan konsep smart city lebih baik diabaikan.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan O-Bahn adalah transportasi massal perkotaan berbasis smart train. "Jadi bus ini menggunakan rel di tempat tertentu, tapi juga menggunakan jalan pada umumnya yang digunakan bus," ujar Budi.
Budi mengatakan gagasan itu muncul sebagai jawaban dari permintaan Presiden Joko Widodo untuk mengatasi kemacetan di sejumlah kota besar di Indonesia. Kota yang disebut Budi antara lain Surabaya, Bandung, Makassar, Medan, Palembang, hingga Yogyakarta.
Munculnya O - Bahn, kata Budi, bisa merevolusi transportasi umum di Indonesia dan bisa membuat perjalanan masyarakat lebih mudah.
EKO WAHYUDI