TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana angkat bicara soal tabrakan antara Kapal Vietnam dengan Kapal TNI AU KRI Tjiptadi 381 di Laut Natuna Utara yang terjadi pada Sabtu pekan lalu, 27 April 2019.
Baca: Susi Pudjiastuti akan Tenggelamkan 51 Kapal KIA dari Vietnam
"Insiden yang terjadi di Wilayah Laut Natuna Utara karena adanya klaim tumpang tindih antara Indonesia dengan Vietnam atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)," ujar Hikmahanto, Senin, 29 April 2019.
Hikmahanto menyebutkan tabrakan terjadi karena TNI AU merasa berwenang melakukan penangkapan terhadap kapal nelayan Vietnam. Namun di sisi lain otoritas Vietnam dengan kapal penjaga pantainya merasa KRI Tjiptadi 381 tidak berwenang melakukan penangkapan.
Dari klaim tumpang tindih itu kedua otoritas menyatakan diri berwenang yang kemudian menyebabkan insiden penabrakan oleh kapal penjaga pantai Vietnam yang ingin membebaskan kapal nelayannya dari penangkapan oleh KRI Tjiptadi 381.
Untuk menghindari kejadian seperti ini berulang, menurut Hikmahanto, pemerintah yang memiliki klaim tumpang tindih harus membuat aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan. "Sayangnya, aturan seperti demikian belum ada di antara negara ASEAN yang memiliki klaim tumpang tindih," ujarnya.
Hikmahanto menjelaskan, ZEE bukanlah laut teritorial dimana berada di bawah kedaulatan negara (state sovereignty). ZEE merupakan laut lepas dimana negara pantai mempunyai hak berdaulat (sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di dalam kolom laut.
Hingga saat ini, kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE. Akibatnya, nelayan Vietnam bisa menangkap di wilayah tumpang tindih dan akan dianggap sebagai penangkapan secara ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya.
"Beruntung, awak KRI Tjiptadi 381 tidak terprovokasi untuk memuntahkan peluru," kata Hikmahanto. Dalam hukum internasional terlepas dari siapa yang benar atau yang salah, pihak yang memuntahkan peluru terlebih dahulu akan dianggap melakukan tindakan agresi.
Oleh karena itu, menurut Hikmahanto, pemerintah Indonesia dan Vietnam harus sgera membuat aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan atau rules of engagement. Hal ini mutlak diperlukan untuk menghindari insiden yang mungkin terjadi di wilayah Laut Natuna Utara.
Sebelumnya diberitakan bahwa kapal Vietnam yang menabrak KRI Tjipradi-381 di Laut Natuna Utara bermula dari pencurian ikan oleh kapal ikan asing berbendera Vietnam bernomor lambung BD 979.
Komandan KRI Tjiptadi kemudian berupaya menangkap kapal tersebut. Namun ternyata kapal ikan ini dikawal kapal Pengawas Perikanan Vietnam.
Kapal pengawal itu berusaha menghalangi proses penegakan hukum oleh personel TNI AL di KRI Tjiptadi-381. "Mereka memprovokasi hingga gangguan fisik dengan cara menabrakkan badan kapalnya ke KRI Tjiptadi-381," kata Panglima Komando Armada I TNI AL, Laksamana Muda TNI Yudo Margono.
Baca: KRI Tjiptadi Ditabrak Kapal Vietnam, Luhut: Harus Protes Keras
Menurut Komando Armada I TNI AL, lokasi kejadian itu ada di wilayah ZEE nasional, sehingga tindakan penangkapan kapal ikan ilegal itu oleh KRI Tjiptadi-38 sudah benar dan sesuai prosedur. Namun pada sisi lain, pihak Vietnam juga mengklaim wilayah itu merupakan perairan Vietnam.