TEMPO.CO, Jakarta - PT Pos Indonesia (persero) masih berjuang di tengah persaingan jasa pengiriman logistik era digital. Senior Vice President Kerja Sama Strategis dan Kelembagaan PT Pos Indonesia, Pupung Purnama, memastikan manajemennya terus berupaya meninggalkan cara kerja konvensional.
"Tentu ada transformasi bisnis menyikapi e-commerce yang booming, tapi tak mudah langsung mengubah semua lapisan kerja," kata Pupung kepada Tempo, Rabu 6 Februari 2019.
Simak: PT Pos Indonesia Janji Bayar Gaji, Pekerja Tetap Tuntut Direksi
Drama penundaan pembayaran gaji 23 ribu karyawan PT Pos Indonesia semakin membuka tabir kondisi keuangan perseroan yang semakin tertekan. Gaji senilai Rp 137 miliar, yang biasa dibayarkan kepada seluruh pegawai setiap tanggal 1, Jumat pekan lalu tertunda hingga akhirnya dibayarkan pada Senin, tiga hari kemudian.
Tak terlena oleh pencairan upah, ratusan anggota Serikat Pekerja Pos Indonesia Kuat Bermartabat (SPPIKB) memutuskan tetap berunjuk rasa di depan Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, kemarin. Mereka meyakini keterlambatan pembayaran gaji merupakan buntut kelemahan direksi dalam mengelola perseroan.
Pupung membenarkan keuntungan tahun berjalan perusahaannya menurun sejak 2015. Namun, dia menilai, hal itu tak hanya disebabkan oleh penyesuaian dari segi infrastruktur, tapi juga regulasi.
"PT Pos ini padat karya, bukan padat modal, sehingga banyak yang kami kerjakan manual," ujarnya. "Infrastruktur kami masih banyak berfokus untuk surat sebagai brand. Untuk beralih secara menyeluruh, kan butuh investasi besar."
Menurut dia, perseroan pun membutuhkan waktu untuk menyeragamkan kemampuan agen pos. Dengan lebih dari tiga ribu kantor cabang resmi di Indonesia, ucap dia, PT Pos Indonesia harus bekerja lebih efisien agar mampu beralih ke jasa digital. "Masalahnya, sekarang belum serempak. Misalnya kantor pengiriman siap, sementara kantor tujuan belum. Jadi, kami harus menyiapkan sumber daya secara menyeluruh dulu," kata Pupung.