TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengusulkan sejumlah strategi mengatasi masalah keuangan yang dihadapi BPJS Kesehatan. Sejak dibentuk, BPJS Kesehatan tersebut terus mengalami defisit.
Baca juga: Wapres Jusuf Kalla Dorong BPJS Kesehatan Berpromosi
JK menilai kenaikan premi merupakan langkah mengatasi defisit. "Tapi itu juga barangkali belum cukup," kata Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Setwapres, Bambang Widianto saat menjelaskan ide JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu, 30 Januari 2019.
Menurut JK, BPJS Kesehatan perlu membatasi layanannya. Sebelumnya layanan terhadap pasien katarak, bayi baru lahir sehat, serta rehabilitasi medik. Namun Mahkamah Agung membatalkan keputusan yang dibuat Direktur BPJS Kesehatan.
Pemerintah kembali membahas soal pembatasan layanan. "Itu lagi digodok oleh Menteri Kesehatan, belum final," ujar Bambang.
Solusi lain yang diusulkan JK adalah pembagian beban pembiayaan dengan pemerintah daerah melalui BPJS di daerah. Caranya, pemerintah memberi dana tertentu. Jika peserta di daerah melebihi dana tersebut, daerah harus menalangi.
JK percaya pembagian tanggung jawab ini mendorong pemerintah daerah melakukan tindakan promotif dan preventif. Salah satunya dengan meningkatkan layanan puskesmas. Selama ini, tugas itu dilimpahkan ke pemerintah pusat. "Inginnya beliau (wapres) begitu. Tapi BPJS sepertinya agak susah mendorong itu," ujarnya.
Sebelumnya, JK menerima Pengurus Pusat Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia. Para pengusaha farmasi itu mengeluh mengenai BPJS Kesehatan yang belum membayar tunggakan penggunaan obat.
Ketua Umum GP Farmasi Indonesia Tirto Kusnadi mengatakan tunggakan yang belum dibayar rumah sakit mencapai Rp 3,6 triliun. "Cukup lama utangnya. Ada yang 60 hari, 90 hari, ada juga yang sudah sampai 120 hari belum terbayar," kata dia usai bertemu JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu, 30 Januari 2019.
Tirto mengatakan nilai tersebut cukup besar. Keterlambatan pembayaran dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan industri. Salah satu pemicu tunggakan ini ialah status industri farmasi sebagai sub kontraktor dalam sistem jaminan kesehatan nasional. Perusahaan mensuplai obat ke rumah sakit sehingga obat tidak langsung dibayarkan oleh BPJS Kesehatan.
Tirto mengatakan dana yang dikucurkan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit tak dipakai untuk membayar lunas utang-utang obat. Menurut dia, rumah sakit pasti memilih mendahulukan membayar gaji pegawai dan kebutuhan mendesak seperti bahan makanan untuk pasien. "Seperti kemarin, bantuan Rp 10 triliun itu paling kira-kira hanya 6-10 persen yang terbayar ke farmasi," kata dia.
Menurut Bambang, tunggakan BPJS Kesehatan saat ini cukup besar. "Ini baru dibayar Rp 300 miliar dari sekitar Rp 3 triliun. Jadi baru 10 persen," katanya.
Dalam pertemuan itu JK menanggapi keluhan GP Farmasi dengan memberi penjelasan bahwa pemerintah tengah mencarikan bantuan keuangan untuk BPJS Kesehatan. Tahun lalu pemerintah sudah mengucurkan Rp 10,5 triliun untuk menutup defisit lembaga tersebut.