TEMPO.CO, Jakarta - PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum resmi menebus 51,2 persen perusahaan tambang PT Freeport Indonesia senilai US$ 3,85 miliar atau Rp 55,8 triliun (dengan kurs Rp 14.500 per dolar AS). Aksi korporasi tersebut setelah Inalum melunasi transaksi divestasi saham Freeport, Jumat, 21 Desember 2018.
Baca: Mahfud MD Bicara Panjang soal Perpanjangan Kontrak Freeport
Untuk menguasai saham Freeport itu, Inalum menerbitkan obligasi valuta asing senilai US$ 4 miliar atau Rp 58 triliun. Selain membeli saham, sisa hasil obligasi digunakan untuk refinancing.
Inalum menunjuk BNP Paribas, Citigroup, dan MUFG untuk menjadi koordinator underwriter atau penjamin emisi penerbitan obligasi. Sedangkan CIMB, Maybank, SMBC Nikko, dan Standard Chatered Bank ditunjuk sebagai mitra underwriter.
Keputusan perusahaan menerbitkan surat utang itu yang belakangan ramai dipersoalkan sejumlah kalangan. Yang teranyar politikus Gerindra Rachel Maryam yang menganalogikan habisnya kontrak karya Freeport dengan rumah kontrakan.
"Ada rumah dikontrakin ke orang. Pas kontraknya abis, untuk bisa ambil alih rumahnya sendiri, si pemilik rumah harus beli ke yg ngontrak. Belinya pake duit utang ke tetangga. Lalu semua tepuk tangan bahagia," ujar Rachel seperti dikutip dari cuitan di Twitter miliknya, @cumarachel, Sabtu, 22 Desember 2018.
Cuitan Rachel itu lantas berkembang viral di sejumlah media sosial. Hingga kini tercatat cuitan itu menuai 6.746 komentar dan di-retweet hingga 1.516 kali. Sementara sebanyak 3.413 orang menyukai cuitan tersebut. Tak sedikit netizen yang menyayangkan logika Rachel tersebut.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali ikut menanggapi soal utang yang dipermasalahkan sebagai instrumen pembayaran akuisisi Freeport tersebut. "Apakah bisnis atau global bond yang dipakai untuk membiayai divestasi ini tak berisiko? Pastilah," katanya, Senin, 24 Desember 2018.
Rhenald menjelaskan, dari kacamata bisnis, pembiayaan selalu berisiko. Namun pembiayaan dengan surat utang ini dinilai lebih sedikit risikonya ketimbang dengan menggunakan pinjaman atau alokasi anggaran pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Lebih berisiko lagi kalau belinya pakai loan, atau APBN karena rupiah akan langsung tertekan. Ini kan kita berada di tengah-tengah era trade war," ucapnya.
Bagaimana dengan loan? Menurut Rhenald, pembayaran dengan instrumen loan akan menyulitkan pemerintah karena ada kewajiban untuk membayar bunga dan pokok, langsung di tahun berikutnya yang nilainya cukup besar. "Beda dengan bond. Pokoknya dibayar di belakang. Artinya kita bisa menabung, dapat bunga pula," tuturnya.
Lebih jauh, Rhenald menyebutkan EBITDA Freeport itu setahun besarnya bisa mencapai US$ 4 miliar dan net profit sebesar US$ 2 miliar. Dengan yang dilakukan pemerintah membeli saham dalam skema divestasi senilai US$ 4 miliar, dalam 4 tahun global bond itu sudah bisa dibayar dari devidennya saja. "Ini kan sama dengan modal dengkul. Siapa yg ngga ngiler. Makanya global bond itu oversubscribe."