TEMPO.CO, Jakarta - PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) atau yang dikenal dengan maskapai Merpati dikabarkan akan terbang lagi pada 2019. Mantan Komisaris Utama Merpati 2007-2009 Muhammad Said Didu pun ikut menanggapi rencana Merpati untuk bisa terbang lagi itu.
BACA: Merpati Bisa Terbang Lagi Jika Penuhi Syarat-syarat Ini
Menurut Said Didu, sejak awal kelahiranya, Merpati memang selalu menghadapi gelombang masalah. Misalnya, pada saat pemisahan usaha dari induknya, yakni Garuda, Merpati langsung dibebani utang pembelian pesawat Fokker F28.
"Itu dulu F28 itu adalah dimasukkan ke Merpati. Saat dia pisah, pesawat diambil Garuda tapi bukunya tidak, artinya beban utangnya tetap di Merpati," kata Didu dalam sebuah diskusi bertajuk "Semoga Merpati Tak Ingkar Janji" yang digelar oleh SmartFM di Atjeh Connectin, Sarinah, Jakarta Pusat, Sabtu, 17 Desember 2018.
Kemudian, Said Didu juga menceritakan bahwa Merpati juga sempat mengalami masalah keuangan pada 2004-2005. Masalah keuangan ini terjadi akibat dari krisis keuangan 1998 yang ternyata juga berdampak pada kesehatan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut.
Baca Juga:
Namun, rencana Merpati untuk meminta bantuan dana segar senilai Rp 1 triliun dari pemerintah tersebut banyak terganjal masalah. Menurut Said, pembahasan batuan dana dari pemerintah ke Merpati ini memerlukan diskusi yang panjang di DPR.
"Merpati itu minta dana Rp 1 triliun dibahas 42 kali dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dipingpong kiri kanan, jadi seperti tawaf dan sa'i," kata Said yang juga bekas Sekretaris Menteri BUMN ini.
Didu menerangkan, Merpati baru bisa mendapatkan dana segar tersebut sekitar 2007 atau dua tahun setelah pengajuan. Itupun, kata dia, pemerintah hanya memberikan sebanyak Rp 400 milar dari permintaan semula sebanyak Rp 1 triliun.
Kondisi tersebut berbeda dengan Garuda yang sama-sama juga mengajukan dana segar senilai Rp 2 triliun untuk penyehatan keuangan pascakrisis 1998. Garuda saat itu bisa mendapatkan suntikan dana segar sebesar Rp 1,5 triliun dan Rp 500 miliar dari penjualan kantor Garuda kepada pemerintah. Selain itu, rencana permintaan Garuda mengajukan dana tersebut juga didukung banyak pihak termasuk DPR.
Tak hanya itu, Said Didu juga menceritakan bahwa kondisi Merpati yang terus bermasalah hingga tak lagi bisa terbang karena tingginya perdebatan di level elite pemerintah. Ia menuturkan, perbedaan pendapat antara elite mengenai kemana arah maskapai Merpati tersebut terlihat saat dirinya mengikuti rapat di kantor wakil presiden yang dilakukan berkali-kali tanpa titik temu.
"Jadi matinya merpati karena perdebatan di kalangan petinggi yang beda versi masing-masing," tutur dia.
Karena itu, dengan kondisi latar belakang yang demikian, ia mengaku cukup terkejut terhadap investor yang mau berinvestasi lagi terhadap Merpati. Sebab, bisnis pernerbangan merupakan bisnis yang berisiko, bergengsi namun memiliki margin kecil. Ia menilai orang yang berani berinvestasi kepada Merpati pasti memiliki talent untuk menghitung, dan memiliki nyali.
"Saya angkat topi pada orang yang mau masuk ke Merpati. Kalau saya disuruh maka saya mending bentuk baru, dari pada melanjutkan. Kenapa? Karena lebih murah," kata dia.