TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pemerintah telah memprediksi defisit transaksi berjalan (CAD) akan melebar, beserta dampak yang terjadi.
Baca juga: BI: Defisit Transaksi Berjalan dan Rupiah Loyo Bisa Berlanjut
"Yang mau saya sampaikan adalah ini adalah salah satu kondisi yang sudah konsisten kami perkirakan akan terjadi. Nah sekarang kalau dia terjadi maka current account yang melebar ke 3,3 persen kemarin apa efeknya," kata Suahasil usai menjadi pembicara di kampus Universitas Indonesia, Senin, 12 November 2018.
Pertama, kata Suahasil, CAD bisa ditutup capital inflow atau arus modal asing yang masuk. Itu terjadi pada 2016 dan 2017, di mana capital inflow cukup untuk menutup defisit transaksi berjalan.
Sedangkan, kata dia, pada 2018 ini kelihatannya capital inflow agak terbatas. Hal itu terlihat pada kuartal III capital inflow sekitar US$ 11 miliar. Padahal tahun lalu capital inflow mencapai US$ 29 miliar. Menurut Suahasil, hal itu terjadi karena aliran dana tidak masuk ke emerging market, namun balik ke Amerika Serikat.
"Lagi-lagi kalau Anda perhatikan pesan yang disampaikan pemerintah dan BI ini sudah konsisten. Bukan kami tidak perkirakan ini. Jadi kami sudah yakin ada downside risk (resiko perlambatan) seperti itu," kata Suahasil.
Suahasil mengatakan pemerintah tidak diam saat ada downside risk. Pemerintah, kata Suahasil, tetap mengantisipasi dalam bentuk berbagai macam kebijakan. Di antaranya, kata Suahasil, pemerintah dengan membangun infrastruktur menggunakan input domestik.
"Tapi tidak mungkin juga tidak impor. Kenapa? Karena kalau mau bangun pembangkit listrik turbin kita belum bisa produksi dalam negeri," kaya Suahasil.
Jadi, kata Suahasil, impor tetap perlu jika ingin terus membangun. Namun jika bisa memakai produksi dalam negeri, itu diprioritaskan. Menurut dia, untuk menekan impor barang konsumsi, pemerintah menaikkan PPh Pasal 22.
Ketiga dengan penerapan penggunaan bahan bakar minyak dengan campuran biodiesel 20 persen atau B20 untuk public service obligation atau PSO dan non PSO atau kebijakan mandatori B20.
Bank Indonesia mengumumkan kenaikan angka defisit transaksi berjalan pada triwulan III 2018 menjadi US$ 8,8 miliar atau 3,37 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut lebih tinggi ketimbang triwulan sebelumnya yang sebesar US$ 8 miliar atau 3,02 persen PDB.
"Defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan III 2018 meningkat sejalan dengan menguatnya permintaan domestik," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman dalam keterangan tertulis, Jumat, 9 November 2018.
Dengan kenaikan angka tersebut, kata Agusman secara kumulatif hingga triwulan III defisit transaksi berjalan tercatat 2,86 persen PDB alias masih berada dalam batas aman.