TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika menyebut data produksi beras yang beberapa hari lalu diumumkan oleh Badan Pusat Statistik atau BPS sangat penting. Lembaga statistik itu baru saja mengumumkan perhitungan produksi beras dengan metode yang diklaim lebih akurat.
Baca: Indonesia Surplus Beras Tapi Masih Impor, Kenapa?
"Begitu disampaikan, maka keseluruhan pemikiran, kebijakan, dan program akan ikut berubah karena data tadi," ujar Erani di Sekolah Tinggi Ilmu Statistika, Jakarta, Kamis, 25 Oktober 2018.
Sebab, data tersebut menggambarkan secara keseluruhan data produksi suatu komoditas, mulai dari jumlah produksi, hingga kekurangan atau kelebihan produksi. Menurut Erani, perlu waktu sekitar tiga tahun untuk bisa mengkoreksi data produksi beras tersebut. "Untuk data itu perjuangan dilakukan luar biasa."
Dalam rilis teranyarnya, BPS mencatat luas panen tahun 2018 diperkirakan mencapai 10,9 juta hektare. Adapun, berdasarkan perhitungan luas panen diperkirakan produksi gabah kering giling atau GKG mencapai 49,65 juta ton sampai September 2018.
Sedangkan, potensi produksi sampai Desember 2018 diperkirakan sebesar 56,54 juta ton gabah atau setara dengan 32,42 juta ton beras. Karena itu, dengan angka konsumsi beras mencapai 29,57 juta ton per tahun, maka diketahui surplus beras diperkirakan mencapai 2,85 juta ton.
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto menyebut data produksi beras sebenarnya bukanlah satu-satunya acuan pemerintah dalam mengambil kebijakan. "Data yang digunakan untuk membuat kebijakan tidak hanya data produksi, kita punya data harga yang jauh lebih bagus," ujar Suhariyanto. Kendati, ia tidak menampik bahwa data produksi beras adalah data yang krusial.
Dengan data harga, pemerintah bisa memantau pergerakan harga secara bulanan. Sehingga pemerintah bisa menetapkan langkah-langkah ketika harga melambung tinggi. Di samping itu, pemerintah juga mengatongi data stok beras di Perum Badan Urusan Logistik.
Suhariyanto mengatakan lembaganya dan beberapa pengamat ekonomi sudah lama menduga bahwa data produksi beras Indonesia kurang akurat. "Kita semua menduga itu overestimate," kata dia.
Ada sejumlah indikator yang menguatkan dugaan BPS tersebut. Antara lain, kata Suhariyanto, adalah tingginya harga dan perlunya impor beras, kendati disebutkan bahwa produksi domestik melimpah. "Kalau kita gandeng-gandengkan, ada yang tidak konsisten, enggak koheren, dan tidak membentuk sebuah cerita yang utuh," ujarnya.
Kendati sudah lama menduga adanya ketidakakuratan dalam perhitungan produksi beras, Suhariyanto mengatakan pembenahan data beras bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. "BPS juga ikut berkontribusi salah, tidak cepat mengubah metodologinya," kata Suhariyanto.
Tantangan dalam merumuskan metodologi teranyar, menurut dia, contohnya adalah perlunya ada metodologi yang objektif dan dibantu teknologi terkini. Sehingga hasilnya bisa cepat dan transparan. "Makanya saya mengundang banyak ekonom untuk mengkritisi," ujar Suhariyanto. Dengan metodologi teranyar, BPS dapat menghitung produksi pangan bulanan dan tiga bulan ke depan.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa data produksi beras nasional selama 20 tahun terakhir keliru. "Selama ini, sejak tahun 1997, terjadi suatu angka yang sesuai dengan lapangan. Angka produksi beras sejak 1997 sampai dengan sekarang itu terjadi produksi yang bertambah terus, padahal di lain pihak sawah berkurang 1,5 persen per tahun dan penduduk bertambah," kata JK usai rapat terbatas di Kantor Wapres, Jakarta, Senin, 22 Oktober 2018.
Baca: BPS Sudah Lama Menduga Data Produksi Beras Salah
Jusuf Kalla melanjutkan sejak 2015, BPS tidak mengeluarkan perkiraan proyeksi produksi beras nasional. Hal itu disebabkan adanya kekeliruan penghitungan luas lahan oleh Kementerian Pertanian. "Bahwa ini pencatatan sejak 1997 yang lalu, saya termasuk salah juga sebagai Wapres yang lalu karena tidak segera mengevaluasi," ujarnya.
ANTARA