TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pusat Statistik atau BPS Suhariyanto ikut menanggapi pernyataan banyak pihak yang menanyakan mengenai kebijakan pemerintah yang masih melakukan impor beras meskipun hasil produksi diperkirakan surplus hingga akhir Desember 2018.
BACA: Indonesia Masih Impor Meski Surplus Beras, BPS Beri Penjelasan
"Ini saya sedikit beri penjelasan supaya dapat feel-nya, karena banyak pihak yang menanyakan kalau surplus kenapa masih impor," kata Suhariyanto di Kantor BPS di Jakarta Pusat, Rabu, 24 Oktober 2018.
Sebelumnya, BPS telah mengumumkan mengenai data baru mengenai Luas Panen dan Produksi Padi di Indonesia 2018. Data ini dikeluarkan dengan menggunakan perbaikan metodologi perhitungan data produksi beras melalui metode kerangka sampel area atau KSA.
Dari hasil penghitungan dengan metode KSA tersebut, BPS mengumumkan bahwa luas panen tahun 2018 diperkirakan mencapai 10,9 juta hektare. Adapun, berdasarkan perhitungan luas panen diperkirakan produksi gabah kering giling atau GKG mencapai 49,65 juta ton sampai September 2018.
Sedangkan, potensi produksi sampai Desember 2018 diperkirakan sebesar 56,54 juta ton gabah atau setara dengan 32,42 juta ton beras. Karena itu, dengan angka konsumsi beras mencapai 29,57 juta ton per tahun, maka diketahui surplus beras diperkirakan mencapai 2,85 juta ton.
Adapun data dan metode baru ini merupakan hasil kerjasama antara BPS bersama dengan lembaga lain, seperti BPPT, LAPAN, dan BIG. Salah satu hal yang baru dari penyusunan menggunakan model KSA ini adalah digunakannya pencitraan satelit terbaru untuk mengukur luas baku lahan sawah.
Suhariyanto menjelaskan produksi beras diperkirakan surplus namun tidak bisa seluruhnya diserap oleh pemerintah. Hal ini karena beras tersebut tidak berada di satu tempat melainkan tersebar ke banyak pihak.
"Pertama ke rumah tangga produsen, ke rumah tangga konsumen ketiga ada di pedagang, keempat ada di penggilingan, kelima ada di hotel resto dan sebagainya, kemudian ada juga di Bulog. Yang bisa dikelola pemerintah hanya ada di Bulog," kata Suhariyanto.
Mengacu pada survei kajian cadangan beras atau SKCB pada 2015, Suhariyanto memberikan ilustrasi bahwa dari total ketersebaran beras tersebut sebanyak 43 persen ada di rumah tangga produsen dan 3 persen ada di rumah tangga konsumen.
Sebagai informasi, rumah tangga produsen itu jumlahnya 14,1 juta rumah tangga. Misal diambil 44 persen dari total surplus 2,85 juta, maka jumlah 44 persen itu adalah 1,35 juta. Kemudian, kalau jumlah 1,35 juta itu dibagi ke rumah tangga produsen, maka setiap rumah tangga produsen itu hanya mempunyai surplus 7,5 kg per bulan.
Selain itu, Suhariyano juga menjelaskan bahwa surplus tersebut dinilai masih kurang karena kebutuhan per bulan konsumsi beras nasional rata-rata mencapai 2,5 juta ton . "Kalau gitu surplus itu cukup besar atau tidak?," kata Suhariyanto.
Suhariyanto menilai adanya surplus beras adalah hal yang bagus. Namun pengelolaannya harus hati-hati. Sebab harus menyesuaikan dengan kondisi produksi dan konsumsi yang berbeda tiap bulannya.