TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Handi Risza Idris mengatakan kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo alias Jokowi belum efektif menahan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Akibatnya, neraca dagang harus terus mengalami defisit sehingga menyebabkan melebarnya defisit transaksi berjalan dan berdampak pada pelemahan rupiah.
"Perlu ada action, pemerintah belum efektif untuk menahan laju pelemahan rupiah. Perlu langkah berani dari kepemimpinan Presiden Jokowi," kata Handi ditemui usai menjadi pembicara dalam acara diskusi bertajuk "Dollar Menguat, Benarkah Indonesia Menuju Krisis?" di Rumah Makan Mbok Berek, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu, 20 Oktober 2018.
Adapun merujuk Kurs Referensi Jakarta Interbank Dollar Spot (JISDOR) nilai tukar rupiah tercatat ke level Rp 15.221 per dolar AS. Nilai tersebut melemah dibandingkan pada Kamis, 18 Oktober 2018 yang mencapai Rp 15.187 per dollar AS.
Merujuk data RTI, pada Sabtu, 20 Oktober 2018 hingga pukul 17.00 WIB, nilai tukar rupiah telah bertengger ke level Rp 15.197 per dollar AS. Sebelumnya, sekitar pukul 14.00 WIB, rupiah sempat melemah ke level Rp 15.157per dolar AS.
Handi mengatakan sejauh ini, kebijakan pemerintah belum efektif untuk menahan laju karena sasaran belum tepat. Misalnya, ia mencontohkan bahwa kebijakan kenaikan tarif PPh impor 1.147 barang konsumsi hanya menyasar barang-barang yang memiliki nilai kecil.
Sebab, jika ditotal nilainya hanya mencapai 10 persen dari total impor. Karena itu nilainya tidak terlalu signifikan untuk menekan jumlah impor. "Kenapa bukan impor baja yang dikurangi atau dinaikkan tarifnya, padahal bahan itu berpengaruh besar terhadap neraca," kata Handi.
Selain itu, Handi juga mengatakan untuk menahan pelemahan rupiah, pemerintah juga perlu memikirkan opsi untuk mengurangi subsidi atau menaikkan harga bahan-bakar minyak (BBM). Handi juga mengatakan sejauh ini belum ada penyelesain masalah ekonomi secara struktural. Dalam hal ini, industrialisasi belum berjalan maksimal di era kepemimpinan Jokowi.
"Pak Jokowi berasumsi bahwa dengan memperbaiki infrastruktur itu bisa menyelesaikan masalah, ngga tahunya engga. Industri justru keteteran," kata dia.
Padahal, Handi menjelaskan, pemerintah telah mengeluarkan 16 paket kebijakan. Namun ternyata semua hal itu belum terlihat nyata dampaknya.
Menurut Handi, keputusan pemerintah untuk menetapkan mengubah asumsi makro nilai tukar rupiah Rp 15.000 per dolar AS pada 2019 adalah salah satu buktinya. Bahwa kondisi fundamental masih belum kuat dan kebijakan ekonomi belum sepenuhnya efektif.