TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi nilai tukar rupiah yang tergerus mencapai Rp 15.218 per dolar AS menurut data RTI pada pukul 13.00, Senin, 8 Oktober 2018. Menurut Sri, rupiah melemah karena imbal hasil obligasi negara atau surat utang negara tenor 10 tahun milik Amerika Serikat yang terus menguat.
Baca juga: Cuitan Fahri Hamzah, Sri Mulyani Klarifikasi Bantuan Gempa Lombok
Sri Mulyani mengatakan imbal hasil atau yield dari bond Amerika Serikat untuk jangka waktu sepuluh tahun meningkat luar tajam hingga di atas 3,4 persen. Padahal nilai imbal hasil biasanya tak lebih dari 3 persen.
"Kalau dulu threshold untuk obligasi 10 tahun Amerika Serikat adalah 3 persen, jadi waktu mereka mendekati 3 persen, memunculkan apa yang disebut sebagai reaksi dari seluruh pergerakan terutama nilai tukar," kata Sri Mulyani saat ditemui di Hotel Melia, Nusa Dua, Bali, Senin, 8 Oktober 2018.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini mengatakan nilai tukar rupiah saat ini juga dipengaruhi tingkat suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat. Apalagi ke depan, kata dia, suku bunga mungkin akan bergerak lebih cepat dan mungkin yang akan terus menanjak seiring dengan pernyataan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, Jerome Powell bakal menaikkan suku bunga lagi tiga kali tahun 2019.
Menurut Sri Mulyani, kondisi tersebut tak bisa dihindari karena merupakan fenomena global. Karena itu, kata dia, fleksibilitas (kenaikain dan penurunan) dari nilai tukar itu tidak bisa dihindarkan.
"Karena merupakan bagian dari respons terhadap lingkungan global yang masih akan terus berjalan," kata Sri Mulyani.