TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani bicara soal nasib uang bantuan jaminan hidup korban gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat yang diduga bermasalah. Padahal, sudah dua bulan berselang sejak gempa magnitudo 7 yang menerjang Lombok pada 5 Agustus 2018.
Baca juga: Sri Mulyani: Anggaran Perbaikan Gempa Lombok Sudah Cair Rp 1,9 T
"Saat ini sebagian besar korban bencana masih tinggal di tenda-tenda pengungsian dan pada umumnya sudah difasilitasi untuk pemenuhan kebutuhan dasar," kata Sri Mulyani dalam keterangannya di Jakarta, Senin, 8 Oktober 2018.
Sementara ada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 4 Tahun 2015 tentang Bantuan Langsung Berupa Uang Tunai bagi Korban Bencana. Di dalamnya disebutkan bahwa uang bantuan jaminan hidup baru dapat disalurkan kepada korban setelah tinggal di hunian sementara, hunian tetap, atau setelah kembali ke rumah masing-masing.
Kabar soal dugaan uang bantuan yang bermasalah karena tidak ada kejelasan ini sebelumnya diberitakan harian lokal pada Jumat, 5 Oktober 2018. Minggu, 8 Oktober 2018, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengutip judul berita ini dan beberapa berita lainnya dalam cuitannya di Twitter. Fahri mengkritik lambannya penanganan pemerintah pusat terhadap gempa Lombok.
Sri beralasan uang baru bisa disalurkan setelah pemerintah daerah mengusulkan nama dan alamat penerima kepada Kementerian Sosial. Saat ini, kata dia, Kemensos dan pemerintah daerah terus menyelesaikan pendataan ini.
Dalam keterangannya, Sri sama sekali tidak mencantumkan berapa banyak uang bantuan jaminan hidup yang sudah dan belum disalurkan ke korban gempa. Kementerian dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kata dia, sedang mengkaji seluruh usulan berikut dokumen pendukung. "Untuk menjaga akuntabilitas, tata kelola perhitungan, dan penganggarannya."
Pemerintah Pusat, kata Sri Mulyani, berkomitmen memulihkan kembali kehidupan sosial ekonomi warga pasca bencana. Saat ini, pemerintah telah membelanjakan sebanyak Rp 2,1 triliun uang negara. Sebanyak Rp 683,6 miliar untuk bantuan stimulan 23.105 rumah rusak, bantuan logistik, dan operasi tanggap darurat. "Penyaluran bantuan-bantuan tersebut dilakukan secara transparan dan akuntabel," ujarnya.