TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution berkomentar sedikit soal prediksi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed. Menurut dia, kenaikan suku bunga bukanlah hal baru.
Baca: The Fed Diprediksi Naikkan Suku Bunga Pekan Ini
"Ya itu kan udah berkali-kali suku bunga dinaikkan," ujar Darmin di Kantor Kemenko Ekonomi, Jakarta, Selasa, 25 September 2018.
Pelaku pasar memprediksi bank sentral Amerika Serikat atau The Fed akan menaikkan suku bunga acuan pekan depan. Kenaikan suku bunga The Fed, kata Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta, akan terjadi saat pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 25-26 September 2018.
"Adapun pertemuan FOMC dalam rangka menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 2,25 persen akan diamati dan dicermati oleh para pelaku pasar," kata Nafan saat dihubungi, Ahad, 23 September 2018.
Nafan menilai biasanya kenaikan suku bunga tersebut akan memberikan efek positif bagi meningkatnya capital inflow yang masuk ke dalam US Markets.
Meskipun demikian, kata Nafan jika negara-negara lain, khususnya emerging markets atau negara berkembang yang memiliki stabilitas fundamental makroekonomi domestik yang kuat, maka efek negatif dari kenaikan suku bunga the Fed bisa diantisipasi.
"Di sisi lain, statement dari Gubernur The Fed juga akan menentukan apakah akan mengarah pada hawkish atau dovish effect," ujar Nafan.
Menurut Nafan, stabilitas harga komoditas dunia juga berpengaruh bagi pergerakan dolar AS. "Kemudian secara domestik, kebijakan penetapan suku bunga Bank Indonesia 7-Day Repo Rate diharapkan mampu menjaga stabilitas rupiah," kata Nafan.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara memprediksi The Federal Reserve (The Fed) masih akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun 2019. Kenaikan suku bunga acuan itu, kata Mirza, bisa mencapai 3,25 persen.
"Di dalam proyeksi BI, kami memperkirakan bahwa suku bunga AS 2019 akan naik sapai 3,25 persen. Dari sekarang 2 persen, bisa naik sampai 3,25 persen," kata dia saat rapat di Komisi XI, Kamis, 13 September 2018.
Sebelumnya, Mirza juga menjelaskan aba-aba kenaikan suku bunga ini sudah dilakukan bahkan sejak tahun 2013 sedangkan pengetatan likuiditas juga mulai dilakukan pada 2014. Hal ini menimbulkan terjadinya volatilitas yang tinggi pada negara-negara emerging market termasuk Indonesia.
Hal tersebut membuat BI pada 2013 harus menaikan suku bunga acuan untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan (current account deficit) dan inflasi. Kemudian dilanjutkan dengan kebijakan menurunkan suku bunga acuan pada periode 2016-2017. Namun, saat ini BI telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 125 basis points (bps) atau 1,25 persen sepanjang tahun 2018.
Mirza menjelaskan BI akan tetap menempuh sikap kebijakan moneter yang ketat atau hawkish dalam menghadapi dinamika ketidakpastian ekonomi global terutama dalam merespons kenaikan suku bunga acuan. "AS pasti naikkan suku bunga, negara tetangga juga. Kami juga akan ahead the curve tetap hawkish," kata dia.
CAESAR AKBAR | HENDARTYO | KARTIKA ANGGRAENI