TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara menyebut nilai tukar rupiah yang berada pada kisaran Rp 14.800-14.900, undervalue alias di bawah nilai sebenarnya.
Baca: Kemenkeu: Kurs Rupiah 2019 Bisa Capai Rp 14.700 per Dolar AS
"Situasi yang kita hadapi, yakni Rp 14.800-14900 di spot rate itu angka yang undervalue," ujar Suahasil di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 18 September 2018. Karena itu, ia menilai masih terbuka peluang penguatan terhadap nilai tukar tersebut.
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, kurs menyentuh level Rp 14.908 per dolar AS pada Selasa. Angka tersebut menunjukkan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan sebanyak 49 poin ketimbang Senin, 17 September 2018, yakni Rp 14.859 per dolar AS.
Apabila ditinjau sejak awal tahun, nilai tukar tercatat melemah sekitar 8-9 tahun. Suahasil melihat melemahnya kurs akan berimbas pada menurunnya angka impor. Dengan demikian, beban neraca pembayaran diharapkan bisa ikut turun.
"Defisit sudah lebih kecil, kita melihat mungkin ada penguatan tekanan mengecil, tapi tidak signifikan mengecil," kata Suahasil.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik sebelumnya mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2018 mengalami defisit US$ 1,02 miliar. Angka defisit bulan ini lebih kecil jika dibandingkan dengan bulan lalu, yakni sebesar US$ 2,01 miliar. Defisit neraca perdagangan tersebut dipicu oleh defisit sektor migas US$ 1,66 miliar, sementara sektor nonmigas surplus US$ 0,64 miliar.
Untuk asumsi nilai tukar pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019, Suahasil mengatakan pemerintah sepakat dengan proyeksi Bank Indonesia. Adapun BI memprediksi nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp 14.300 - 14.700 per dolar AS.
"Kalau dikerucutkan lagi, kami menerima di kisaran Rp 14.500-14.600," ujar Suahasil. Atas pertimbangan itu, Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan agar asumsi kurs dalam RAPBN 2019 dipatok Rp 14.500 per dolar AS.