TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan pemerintah perlu mengantisipasi dampak kebijakan pembatasan impor yang pada akhirnya diharapkan dapat meredam pelemahan rupiah. Khususnya agar beleid tersebut agar tak malah menjadi bumerang untuk pemerintah.
Baca: Pajak Kosmetik Impor Naik, Sri Mulyani Sarankan Pakai Gincu Lokal
"Di satu sisi, pembatasan impor dilakukan terkait adanya kekhawatiran soal defisit neraca perdagangan. Di sisi lain, sebagaimana yang sudah pernah disuarakan oleh kalangan pengusaha, rencana pembatasan impor jangan sampai menjadi bumerang untuk pemerintah," kata Hizkia, di Jakarta, Kamis, 6 September 2018.
Pasalnya, menurut Hizkia, salah satu dampak yang berpotensi terjadi akibat pembatasan impor adalah melemahnya daya beli masyarakat. Pembatasan impor itu tapi juga berisiko melemahkan daya beli jika produk yang terkena tambahan pajak adalah barang konsumsi yang dibutuhkan masyarakat, tak terkecuali yang miskin.
Hal ini dikarenakan komoditas yang termasuk ke dalam barang konsumsi juga akan ikut dibatasi impornya. "Padahal nilai impor barang konsumsi masih lebih kecil ketimbang impor barang modal dan bahan baku penolong," ucap Hizkia.
Data BPS pada Mei 2018 menunjukkan impor barang konsumsi mencapai US$ 1,73 miliar. Sementara itu nilai impor barang modal dan bahan baku penolong adalah US$ 2,81 miliar dan US$ 13,11 miliar.
Selain itu, kekhawatiran muncul karena ketika impor dibatasi, tapi produk dalam negeri belum siap menggantikannya. Bila sebaliknya, Hizkia mengkhawatirkan harga akan kembali naik. "Dengan berkurangnya impor, bukan hanya akan mengurangi suplai tetapi juga akan mendistorsi kompetisi di pasar," ucapnya.
Pemerintah sebelumnya menerapkan kebijakan pengendalian impor barang konsumsi melalui penaikan tarif pajak penghasilan (PPh) impor terhadap 1.147 pos tarif sebagai strategi mengatasi defisit neraca transaksi berjalan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu kemarin mengatakan, peraturan menteri keuangan (PMK) mengenai hal tersebut sudah ditandatangani dan akan berlaku tujuh hari setelahnya.
"Kami berharap masyarakat memahami bahwa pemerintah di satu sisi ingin cepat dan di sisi lain selektif karena situasinya tidak biasa, dan kami lakukan tindakan yang dalam situasi biasa tidak dilakukan," ujar Sri Mulyani.
Adapun 1.147 pos tarif itu terdiri atas 719 komoditas akan naik pajaknya dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen. Jenis barang tersebut termasuk bahan perantara, misalnya produk tekstil, keramik, kabel, dan boks speaker.
Selanjutnya, 218 komoditas naik pajaknya dari 2,5 persen menjadi 10 persen. Komoditas yang termasuk adalah barang konsumsi yang sebagian besar telah diproduksi dalam negeri, contohnya barang elektronik (pendingin ruangan, lampu) dan barang keperluan sehari-hari.
Terakhir, sebanyak 210 komoditas naik pajaknya dari 7,5 persen menjadi 10 persen. Komoditas yang termasuk adalah barang mewah seperti mobil CBU (completely built-up) dan motor besar.
Baca: Menteri Perdagangan: PPh Barang Impor Naik Tak Langgar Aturan WTO
Sebanyak 1.147 komoditas yang disesuaikan tarif PPh impornya tercatat memiliki nilai impor US$ 6,6 miliar pada 2017. Sementara dari Januari hingga Agustus 2018 tercatat memiliki nilai impor US$ 5 miliar. Tanpa penyesuaian, nilai impor sepanjang 2018 diperkirakan meningkat signifikan.
ANTARA