TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi nirlaba Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat menilai dijatuhkannya vonis Pengadilan Tinggi terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi atas bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan di 2015 bisa menjadi momentum tersendiri.
Baca: Kebakaran Hutan Disebut Terjadi Jauh Sebelum Jokowi jadi Presiden
Dengan momentum itu, Walhi menyebutkan Presiden Jokowi harus bisa memastikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk tetap berkomitmen melakukan penegakan hukum kepada korporasi. Khususnya sebagai jalan utama dalam memperbaiki tata kelola sumber daya alam di Indonesia.
“Tanggung jawab hukum ada pada korporasi dan birokrasi sebagai pemilik izin konsesi dan pemberi izin, kenapa masyarakat yang disalahkan? Negara jangan lagi melindungi para penjahat lingkungan di Indonesia,” kata Direktur Walhi Kalimantan Barat, Anton P Widjaya, Jumat, 24 Agustus 2018.
Baca: Jokowi Divonis Bersalah, Bagaimana Kondisi Palangkaraya Saat Ini?
Pernyataan Anton merespons keputusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya yang memvonis Presiden Jokowi bersalah atau lalai dalam bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan pada 2015. Ia menyebutkan bukti-bukti di lapangan menguatkan keputusan pengadilan tersebut.
Anton menjelaskan, hingga 14 Agustus 2018, tercatat 790 titik api, di mana 201 diantaranya berada di areal korporasi. “Berdasarkan data titik api pada tanggal 14 Agustus 2018 yang di-overlay dengan peta sebaran konsesi di Kalimantan Barat, dari 790 titik api terdapat 201 titik api berada di dalam konsesi,” katanya, Jumat, 24 Agustus 2018.
Overlay sebaran titik api Walhi Kalimantan Barat itu, menurut Anton, bersumber dari Citra Modis C6 Kalimantan Barat NASA 2018 dengan confidence 80-100 persen dengan Peta Sebaran Investasi di Kalimantan Barat. Atas data itu, Walhi mendesak Menteri Lingkungan dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, untuk mengklarifikasi pernyataan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Ruandha Agung Sugardiman, yang menyebutkan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah masyarakat.
Anton menilai pernyataan tersebut merupakan cerminan rendahnya komitmen institusi tersebut dalam menegakkan hukum dalam kasus kejahatan lingkungan. Pernyataan tersebut tidak berpijak pada data, subjektif dan terkesan melindungi korporasi yang sengaja membakar ataupun lahan konsesinya terbakar.
Meski begitu, Walhi Kalimantan Barat tidak menyangkal fakta bahwa ada masyarakat yang mengelola lahan dengan cara membakar dengan skala kecil. Hal ini dikuatkan dengan melihat titik api yang ada di konsesi dan yang ada di luar konsesi.
Tapi, menurut Anton, kebakaran hutan dan lahan harus dilihat tak hanya dari kuantitas berapa banyak titik kebakaran saja, tetapi melihat kualitas dan dampak dari kebakaran tersebut. “Seratus petani membakar lahan pertanian yang luasnya terbatas dampaknya tidak sama dengan satu perusahaan yang melakukan pembersihan lahan yang luasnya ribuan hektare. Kerusakan dan polutan asap yang dihasilkan sangat mengerikan, apalagi jika ratusan perusahaan perkebunan melakukannya,” ucapnya.
Vonis Presiden Jokowi bersalah atau lalai dalam bencana kebakaran hutan dan lahan pada 2015 ini terlihat di situs Mahkamah Agung. Gugatan warga negara (citizen law suit) itu sebelumnya diajukan oleh kalangan aktivis lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAs) Kalimantan Tengah.
Presiden Jokowi menyatakan menghormati keputusan vonis terhadap dirinya tersebut. "Kita harus menghormati, kita harus menghormati sebuah keputusan yang ada di wilayah hukum, yang ada di pengadilan. Harus kita hormati," kata Jokowi di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis, 23 Agustus 2018.
Walaupun demikian, Jokowi menyebutkan bahwa putusan tersebut belum final. Pemerintah masih akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Diketahui, sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengajukan gugatan kepada Presiden RI Jokowi, Menteri Pertanian RI, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI, Menteri Kesehatan RI, Gubernur Kalteng dan DPRD Kalteng.