TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Kepresidenan Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika angkat bicara menanggapi melebarnya defisit neraca transaksi berjalan hingga 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pelebaran defisit ini yang belakangan berdampak cukup terasa pada pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Baca: Rizal Ramli Sebut Ekonomi Ibarat Lampu Setengah Merah
Menurut Erani, persoalan defisit neraca transaksi berjalan tidak hanya terjadi saat ini. Ia mencontohkan, pada 2013 dan 2014 neraca transaksi berjalan mengalami defisit masing-masing 3,19 persen dan 3,09 persen.
"Sumber permasalahannya memang mirip, yaitu lonjakan harga minyak dunia," kata Erani dalam keterangan resminya, Jumat, 24 Agustus 2018.
Baca: Rini Soemarno: Masih Ada Proyek PLN dan Pertamina yang Berlanjut
Erani menjelaskan, pada tahun 2013 rata-rata harga minyak dunia (Dubai, Bren, Nigerian Forcados, West Texas Intermdiate) mencapai US$ 106 per barel. Harga minyak dunia kemudian sedikit menurun pada 2014 menjadi US$ 97 per barel.
Walaupun saat ini harga minyak tidak setinggi 2013 dan 2014, tekanan terhadap rupiah pada saat ini juga dipengaruhi oleh sentimen kebijakan moneter dan fiskal Amerika Serikat serta ketidakpastian global akibat perang dagang yang semakin meluas. Tekanan neraca transaksi berjalan juga sangat berkaitan dengan penurunan kinerja neraca perdagangan
Meski begitu, kata Erani, perlu dicatat bahwa ekspor Januari-Juli 2018 sudah mencapai angka terbesar sepanjang tiga tahun terakhir, mencapai US$ 104 miliar. Sementara nilai impor melonjak di atas kinerja ekspor sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan hingga US$ 3,08 miliar di semester pertama 2018.
Lonjakan tersebut sebagian besar bersumber dari barang modal, yang tumbuh hingga 30,44 persen (yoy). Sedangkan bahan baku atau penolong dan barang konsumsi masing-masing 22,99 persen (yoy) dan 27,03 persen (yoy).
Lonjakan barang modal dan bahan baku atau penolong ini menunjukkan geliat produksi di industri nasional. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja industri pengolahan pada kuartal ketiga 2018, setelah mencatat pertumbuhan 3,97 persen (yoy) di kuartal kedua 2018.
Tak hanya itu, kata Erani, aspek lain yang juga harus diperhatikan adalah neraca jasa yang juga berkontribusi pada defisit neraca transaksi berjalan. Komponen yang menyumbang terbesar di antaranya biaya penggunaan kekayaan intelektual, jasa telekomunikasi, komputer, dan informasi, serta jasa asuransi dan dana pensiun.
"Upaya menekan defisit neraca jasa dilakukan melalui jasa perjalanan, yang menyumbang surplus hingga US$ 2,7 miliar pada semester satu tahun 2018," ucap Erani.
Adapun upaya menekan defisit neraca transaksi berjalan, terutama pada penguatan surplus neraca perdagangan. Pemerintah sudah menyisir 500 barang-barang impor yang sebetulnya dapat diproduksi di dalam negeri, serta membatasi impor minyak mentah dengan biodesel.
Pemerintah dalam menekan defisit transaksi berjalan itu juga, kata Erani, akan memberikan insentif bagi penanaman modal dalam negeri untuk menjaga defisit neraca pendapatan primer. "Optimalisasi pemanfaatan sektor pariwisata juga perlu dilakukan untuk menarik wisatawan asing."
BISNIS