TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah mengakui tren impor bahan kebutuhan pokok dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Keputusan impor terpaksa diambil karena pemerintah berupaya menstabilkan harga bahan kebutuhan yang terus merangkak naik.
Baca: Sengketa dengan AS di WTO, Haruskah RI Bayar Sanksi Rp 5 T?
"Impor meningkat dari 2015 hingga 2017 sekitar 10 persen," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti, di Jakarta, Rabu, 8 Agustus 2018. Hal itu disampaikan dalam acara seminar nasional "Menelaah Model Konsumsi Pangan Indonesia Masa Depan" bersama Perhimpunan Ekonom Pertanian Indonesia.
Meski begitu, Tjahya memastikan bahwa selama ini impor hanyalah pilihan terakhir. Sebab, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menekankan tiga prioritas penting dalam sektor perdagangan, salah satunya yaitu stabilisasi bahan pokok melalui penyerapan dalam negeri. Dua lainnya yaitu menjaga neraca perdagangan dan tingkatkan ekspor, serta revitalisasi pasar rakyat.
Baca: RI Hapus Bea Masuk Produk Palestina, Enggar: Ini Dukungan Penuh
Tren kenaikan impor ternyata tak hanya dari 2015 sampai 2017, kata Tjahya, namun berlanjut hingga paruh pertama 2018. Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat impor bahan pangan terus membengkak dan menjadi penyumbang terbesar pembelian barang konsumsi dari luar negeri pada periode tersebut.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan nilai impor barang konsumsi sepanjang Januari hingga Juni 2018 mencapai US$ 8,18 miliar atau setara Rp 117,7 triliun dan naik 21,64 persen secara year on year (yoy). Menurut dia komoditas pangan menjadi penyumbang terbesar kenaikan impor barang konsumsi tersebut. “Secara umum, kenaikan paling besar disumbangkan oleh beberapa komoditas seperti beras, gula dan kedelai,” kata Suhariyanto, Senin, 16 Juli 2018.
BPS juga mencatat beras, gula, biji gandum dan meslin, serta garam adalah komoditas dengan volume impor terbesar sepanjang semester pertama 2018. Dari sisi nilai, penyumbang impor terbesar adalah beras, gula, kedelai, serta biji gandum dan mesin.
Tjahya mengatakan, instrumen impor sebagai stabilitas harga pangan sebenarnya tidak terjadi karena satu faktor saja. Lantaran, kenaikan harga bisa terjadi karena naiknya konsumsi, minimnya suplai, hingga terganggunya jalur distribusi bahan pokok. "Kalo masalah di suplai, saya ga bisa masuk. Tapi kalau distribusi, saya bisa lakukan antisipasi," ujarnya.