TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan soal perubahan parameter garis kemiskinan setelah sebelumnya dipertanyakan oleh anggota dewan. Menurut dia, perubahan garis kemiskinan sangat mungkin dilakukan karena mengikuti pergerakan sejumlah indikator terkait, salah satunya harga makanan.
Baca: Kemiskinan 9,82 Persen, Sri Mulyani: First Time in History
"Misalnya harga beras, telur, gula meningkat untuk mendapatkan 2.250 kalori," ujarnya dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat soal ekonomi makro semester I dan proyeksi asumsi ekonomi makro semester II, Selasa, 17 Juli 2018. "Kalau inflasi tinggi, maka garis kemiskinannya tinggi."
Angka 2.250 itu didasarkan pada ukuran kemiskinan yang menggunakan basis jumlah kebutuhan kalori masyarakat atau orang untuk berkonsumsi, yang kemudian jumlah kalori itu dikonversi menjadi harga. "Jadi kalau kebutuhan manusia minimal kalorinya 2.250 kalori per hari, itu dikonversi untuk mendapatkan 2.250 kalori itu menjadi komponen makanan yang kemudian harga dari makanan itu dikonversi sehingga 2.250 itu menjadi garis kemiskinan," kata Sri Mulyani.
Baca: Sri Mulyani Sebut Kemiskinan Turun, Ekonom Pertanyakan Hal Ini
Sri Mulyani mengatakan orang yang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan adalah kelompok miskin, sedangkan di atas garis kemiskinan adalah kelompok yang tidak miskin. "Tentu selalu terjadi pro dan kontra dan kalau kemudian sering di dalam masyarakat umum, apalagi media sosial itu membandingkan garis kemiskinan antarnegara," ujarnya.
Lebih jauh Sri Mulyani mencontohkan untuk mendapat 2.250 kalori per hari di Indonesia, berbeda sekali dengan di India, Singapura, Amerika, dan itu yang membuat adanya perbedaan daya beli antarnegara. Pasalnya, komponen makanannya berbeda, dan angka atau nilai setiap negara berbeda-beda.
Penjelasan Sri Mulyani itu menanggapi pertanyaan Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Sungkono sebelumnya ihwal perubahan garis kemiskinan yang menjadi dasar perhitungan tingkat kemiskinan oleh BPS. "Parameter kemiskinan kita itu sebetulnya bagaimana?" kata Sungkono.
Menjawab hal itu, Sri Mulyani menyebutkan, pengukuran kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik dilakukan berdasarkan ukuran memang konsisten dilakukan dari tahun ke tahun. "Jadi tidak diubah dari tahun ke tahun," katanya.
Oleh karena itu, menurut Sri Mulyani, jika pemerintah ingin menjaga harga makanan stabil, sebetulnya secara tidak langsung ingin mendapatkan tingkat kemiskinan menurun. "Karena garis kemiskinannya turun."
Tak sedikit netizen yang mempertanyakan garis kemiskinan yang digunakan sebagai dasar survei BPS. Pada Maret 2018, BPS menggunakan standar garis kemiskinan Rp 401.220 per bulan atau naik 3,63 persen dibanding pada September 2017 sebesar Rp 387.160.
Adapun pada Maret 2017, standar garis kemiskinan yang digunakan adalah sebesar Rp 374.478 per bulan. BPS mencatat inflasi umum pada periode September 2017 – Maret 2018 sebesar 1,92 persen.
Salah satu netizen dengan akun Twitter @AisyahMutahar sebelumnya mempertanyakan perubahan garis kemiskinan sebagai dasar BPS menghitung tingkat kemiskinan. "Kemiskinan menurun karena pendapatan minimal rakyat di ubah menjadi 400 rb. Artinya rakyat dengan pendapatan di atas Rp 400 ribu gak disebut miskin," ujarnya Senin malam, 16 Juli 2018. "Sekarang kalian pikir, uang Rp 400 ribu sebulan bisa untuk apa? Untuk bayar listrik, air dan gas aja sudah habis. Trus rakyat makan pake apa?"
Ada juga netizen lainnya dengan akun Twitter @Fauzismail24 yang mempertanyakan data BPS tersebut. "Tapi gua penasaran, apa emang dari dulu garis kemiskinan serendah itu? Berarti Indonesia terlihat kaya di atas selembar data?" Cuitannya itu disampaikan pada Senin sore, 16 Juli 2018.