TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, BI akan menempuh kebijakan makroprudensial yang akomodatif melalui relaksasi Loan to Value Ratio (LTV) dan Finance to Value Ratio (FTV) khususnya di sektor properti. Menurut dia, kebijakan itu menjadikan BI tak lagi menentukan jumlah uang muka untuk kredit pembelian rumah (KPR) khususnya kepada pembeli pertama.
"Kebijakan ini untuk meningkatkan kesempatan kepada masyarakat khususnya first time buyer untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah dan akan berlaku mulai 1 Agustus 2018," kata Perry di Kantor Bank Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat, 29 Juni 2018.
Baca Juga:
Baca: Suku Bunga Acuan Bank Indonesia Naik menjadi 5,25 Persen
Kebijakan relaksasi lewat LTV ini dikeluarkan setelah BI memutuskan untuk menaikan suku bunga acuan atau BI 7-Days Repo Rate (BI 7DRR) sebesar 50 basis points (bps) menjadi 5,25 persen. Keputusan itu dikeluarkan melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Jumat.
Keputusan kenaikan BI 7 DRR tersebut juga diikuti dengan kenaikan Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,50 persen. Sedangkan Lending Facility juga naik sebesar 50 bps menjadi 6,00 persen.
Perry memberi contoh sebelum adanya pelonggaran rasio LTV dan FTV, kepada para pembeli pertama BI mematok uang muka sebesar 15 persen untuk kredit KPR untuk Rumah Tapak tipe lebih besar 70 meter persegi. Setelah adanya relaksasi ini, BI tak lagi mematok jumlah uang muka yang mesti diberikan. Nantinya, besaran LTV tetap akan ditentukan namun diserahkan kepada manajemen risiko masing-masing bank.
Baca: Bunga Deposito Bank Mandiri dan BTN Bakal Dinaikkan
Selain itu, BI juga memberikan pelonggarakan jumlah fasilitas kredit atau pembiayaan melalui mekanisme inden. Dengan keputusan itu, pembiayaan diperbolehkan hingga 5 fasilitas kredit tanpa melihat urutan.
Selain itu, BI juga akan mengeluarkan penyesuaian pengaturan tahapan dan besaran pencairan kredit/pembiayaan. Dengan penyesuaian ini, pencairan dana bisa dilakukan sebanyak 30 persen dari total plafon kredit setelah adanya kesepakatan.
Keputusan ini, Perry melanjutkan, didasarkan atas pertimbangan mengenai kebijakan LTV dan FTV sebelumnya yang telah mempu meningkatkan pertumbuhan kredit, namun belum cukup optimal. Kemudian, keputusan ini dilambil karena siklus kredit properti yang masih berada pada fase rendah tapi memiliki potensi akselerasi.
"Dalam hal ini penyediaan dan permintaan terhadap produk properti yang mulai meningkat dan kemampuan debitur yang masih baik," kata dia. Selain itu, Bank Indonesia menilai sektor properti merupakan sektor yang memiliki efek pengganda yang cukup besar terhadap perekonomian global.