TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menyebut pelemahan rupiah tak terhindarkan jika neraca transaksi berjalan Indonesia masih mengalami defisit di tengah menguatnya tekanan global. Hal tersebut diungkapkan Agus saat menyampaikan laporan akhirnya di ruang rapat Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, Selasa, 22 Mei 2018.
"Ini tidak bisa terhindari karena ada faktor lain, sejak 2012 transaksi berjalan terus defisit," ujar Agus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.
Sejak Agus memimpin Bank Sentral pada 2013, defisit neraca transaksi berjalan menembus 28 miliar dolar Amerika Serikat dengan lonjakan inflasi hingga 8,38 persen. Dua faktor itu pula yang membuat Agus langsung menerapkan kebijakan moneter ketat pada awal kariernya sebagai pemimpin bank sentral.
Tahun ini, Agus memperkirakan defisit transaksi berjalan Indonesia US$ 23 miliar atau 2,3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Di sisi lain, inflasi juga masih terkendali di bagian bawah sasaran inflasi BI di rentang 2,5-4,5 persen secara tahunan (year-on-year).
Ke depan, kata Agus, selain mengenai kebijakan moneter, pemerintah juga harus memperhatikan kebijakan di sektor riil dan fiskal untuk mengantisipasi pelemahan rupiah saat terjadi tekanan global. Kebijakan yang dimaksud, ia menambahkan, dengan memperkuat kinerja ekspor. Adapun di bidang fiskal dapat dilakukan dengan terus menjaga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di bawah 3 persen dari PDB. “Di bidang moneter, bank sentral akan terus memastikan agar likuiditas valas dan rupiah terjaga,” ucapnya.
Pada kuartal I 2018, defisit neraca transaksi berjalan tercatat US$ 5,5 miliar atau setara dengan 2,1 persen terhadap PDB. Dengan defisit tersebut, neraca pembayaran Indonesia pada kuartal I 2018 mencatat defisit US$ 3,9 miliar atau defisit terparah sejak kuartal I 2013.