TEMPO.CO, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan akan ada titik keseimbangan baru untuk nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
"Kalau pasar sedang bergejolak itu akan selalu ada waktunya untuk Rebound. Mungkin tidak kembali ke level Rp 13.400-13.500 per dolar AS. Akan ada keseimbangan baru tapi tidak akan bergerak terlalu tinggi," ujar Darmin usai menghadiri sebuah diskusi di Hotel Four Season Jakarta, Selasa, 24 April 2018.
Namun, ia enggan menyebutkan berapa nilai keseimbangan baru yang ia maksud. Jika melihat nilai fundamental rupiah sebelum melemah, Darmin mengatakan titik keseimbangan baru tidak akan jauh dari situ. Pernyataan Darmin berkaitan dengan pelemahan nilai tukar rupiah yang kini hampir menyentuh Rp 14.000 per dolar AS. Hingga pukul 09.57 hari ini, rupiah berada di level Rp 13.890 per dolar AS.
Simak: Karena Ini, Menteri Darmin Tak Khawatir Rupiah Melemah
Menurut Darmin, pelemahan ini terjadi akibat berbagai intervensi dari eksternal, seperti tekanan perang dagang yang masih berlanjut dan rencana Bank Sentral AS menaikkan suku bunganya. Namun begitu, ia mengatakan pelemahan rupiah bukan yang terburuk jika dibandingkan dengan negara lain.
"Masih banyak negara yang pelemahannya lebih buruk. Tapi presentasenya yang dilihat, jangan absolutnya. Karena kita kursnya kan belasan ribu per dolar AS," tutur dia.
Bank Indonesia (BI) mengaku telah melakukan intervensi pasar dengan dosis yang cukup besar untuk menjaga stabilisasi rupiah. Gubernur BI Agus Martowardojo dalam keterangan tertulisnya pun mengatakan BI akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamentalnya.
"Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah (IDR) sesuai fundamentalnya, Bank Indonesia telah melakukan intervensi baik di pasar valas maupun pasar Surat Berharga Negara dalam jumlah cukup besar," ujar Agus.
Sejak Jumat, 21 April 2018 hingga Senin, 24 April 2018, kata Agus, tekanan terhadap rupiah terus timbul karena berlanjutnya penguatan dolar AS terhadap mata uang negara-negara di dunia. Penguatan "Greenback" dipicu meningkatnya imbal hasil obligasi pemerintah AS, US treasury bills, yang mendekati level psikologis tiga persen dan kembal mengemukanya ekspektasi kenaikan suku bunga The Federal Reserve lebih dari tiga kali selama 2018.
Agus mengatakan Bank Sentral akan terus mengawasi dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah, baik yg dipicu oleh gejolak global seperti dampak kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-Cina, dan kenaikan harga minyak dunia.
Kemudian juga tekanan dari ekonomi domestik karena kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik untuk membayar impor, utang luar negeri, dan dividen yang cenderung meningkat pada triwulan II 2018.
ADAM PRIREZA | ANTARA