TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia optimistis pelemahan yang terjadi hanya bersifat sementara, terlebih hal ini telah diperhitungkan dari jauh-jauh hari. “Harusnya efeknya tidak terlalu besar dan kalau sudah reda soal ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed ini rupiah bisa rebound kembali dengan cepat,” ujar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Doddy Zulverdi, seperti dikutip dari Koran Tempo, edisi Selasa, 6 Maret 2018.
Namun Doddy enggan menyebutkan perihal volume intervensi yang telah dikucurkan Bank Indonesia ke pasar untuk meredam gejolak rupiah. “Pada intinya kami melakukan intervensi sesuai dengan kondisi yang terjadi, bergantung seberapa besar tekanan aliran yang keluar, ketika terjadi pelemahan semakin kencang kami harus meresponsnya dengan cepat, dan disesuaikan dengan cadangan devisa juga,” katanya.
Baca Juga:
Simak: Berapa Kurs Rupiah yang Cocok dengan Perekonomian Indonesia
Meskipun demikian, Doddy mengingatkan agar publik tak serta merta dalam menyimpulkan penurunan cadangan devisa dengan intervensi yang dilakukan. Sebab, terdapat banyak kemungkinan variabel yang dapat mengubah posisi cadangan devisa, seperti penerimaan ekspor migas hingga penerbitan obligasi negara.
Selain intervensi, Doddy mengungkapkan pihaknya akan berusaha menjaga indikator perekonomian domestik tetap stabil, khususnya inflasi. “Jadi ketika harus ada kenaikan nilai tukar tekanan inflasi masih terjaga, pemerintah mengupayakan tarif listrik dan BBM stabil.”
Adapun target inflasi tahun ini sebesar plus-minus 3,5 persen. Bank Indonesia juga berupaya untuk menurunkan risiko investor, khususnya dari sisi moneter. “Sehingga harapannya ketika The Fed naik ya suku bunga kita tidak harus naik.” Menurut dia, Bank Indonesia tak akan serta merta menaikkan suku bung jika Fed Funds Rate dinaikkan. “Belum pasti, bergantung confidence market dan inflasi, tapi kalau ruang penurunan sudah nyaris tidak ada,” katanya.
Bank Indonesia mencatat volatilitas nilai tukar rupiah dalam dua bulan terakhir ini mencapai sekitar 8 persen (year to date), atau meningkat dibanding volatilitas sepanjang tahun lalu sebesar 3 persen. “Tapi kita termasuk yang terendah kalau dibandingkan dengan negara peer kita, yaitu negara-negara dengan suku bunga yang relatif tinggi.” Doddy mencontohkan volatilitas Brasil mencapai 13 persen, Afrika Selatan 23 persen, dan Rusia 13 persen. “Ini mencerminkan upaya BI untuk menjaga volatilitas tidak terlalu tinggi walaupun melemah, tapi kalau memang global semua bergejolak ya tidak bisa dihindari,” ujarnya.