TEMPO.CO, Jakarta - PT PLN (Persero) mengusulkan pembangkit listrik energi bersih hanya sebesar 14 ribu megawatt (MW) hingga 2027 mendatang. Target ini berkurang 7.000 MW dari rencana sebelumnya sebesar 21,5 ribu MW. Usulan termuat dalam draf rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2027. PLN hanya menakar pertumbuhan penggunaan setrum hanya 6,1 persen, atau berkurang dari RUPTL 2017-2026 sebesar 8,3 persen.
Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PLN Tohari Hadiat mengatakan, perusahaan perlu memangkas habis-habisan target pembangunan pembangkit. Sebab, target konsumsi listrik rata-rata per tahun juga bakal berkurang.
Baca Juga:
"Nanti kalau kami bikin, demandnya tidak ada nanti tidak efisien," ujar Tohari kepada Tempo Senin 26 Februari 2018.
Simak: Kembangkan PLTP, PLN Kejar Target Bauran Energi Terbarukan
Tohari enggan menyebut proyek yang bakal terpangkas. Yang pasti, kontribusi pembangkit energi bersih seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) juga bakal turun. Sebagian besar proyek yang berkurang berlokasi di pulau Jawa.
Penurunan target energi bersih adalah buntut pengurangan kapasitas listrik hingga 10 tahun mendatang. Tohari mengatakan hingga 2027, total kapasitas listrik hanya mencapai 56 ribu MW. Rencana itu minus 39 persen jika dibanding target RUPTL sebelumnya sebanyak 77,9 ribu MW.
Direktur Pengadaan Strategis PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan Pulau Jawa menjadi sasaran pengurangan terbanyak karena kondisi sistem sudah surplus. Perusahaan berencana hanya menambah pembangkit sebesar 25.970 MW. Ini lebih rendah 13.165 MW ketimbang target pemerintah sebesar 39.135 MW. Sekitar 50 persen infrastruktur yang akan didepak dari rencana adalah pembangkit listrik tenaga uap.
Jika tidak direvisi, surplus setrum PLN bisa melebihi 30 persen. Bahkan di beberapa sistem kelistrikan, surplus listrik mencapai di atas 80 persen.
"Cadangan ini akan berisiko terhadap keuangan PLN karena akan ada listrik yang menganggur," tutur Iwan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa mengatakan rencana memangkas target energi bersih untuk mengurangi surplus listrik salah sasaran. Sebab, biang keladi beban produksi PLN justru berasal dari PLTU. Dua tahun belakangan, harga komoditas ini naik tajam sehingga biaya perusahaan membengkak.
Risiko juga bertambah PLN harus membayar biaya kapasitas sebesar 80 persen dari harga jual ke pengembang swasta jika pembangkitnya menganggur. Institute for Energy Economics and Finance Analysis (IEEFA) melalui studinya tahun lalu memprediksi PLN bakal merugi US$ 16,2 miliar atau sekitar Rp 219 triliun di sistem Jawa-Bali mulai 2019. Kerugian berasal dari pembayaran setrum yang tak terpakai dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebanyak 5.138 MW.
Sebaliknya, Perusahaan justru berpeluang menurunkan tarif listrik melalui penggunaan energi bersih karena investasi pembangkit ini semakin murah. Kesempatan menurunkan biaya berasar dari pengembangan pembangkit listrik tenaga surya dan angin hingga seribu MW.
"Dengan memprioritaskan pembangunan PLTU, PLN justru memperbesar eksposure risikonya," tutur dia.