TEMPO.CO, Jakarta -Otoritas Jasa Keuangan atau OJK mempertimbangkan evaluasi kinerja dari pengelola statuter (PS) yang secara khusus dipilih untuk menjalankan proses penyehatan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJBB). Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh D Santoso mengatakan pihaknya bakal meninjau lagi kinerja PS yang ditunjuk sejak Oktober 2016 tersebut. “PS dilihat saja, apakah perlu atau tidak (dibubarkan). Nanti kami putuskan,” ujarnya di sela-sela konferensi pers, Kamis, 15 Februari 2018.
Wimboh menegaskan bahwa selama ini pengelola statuter bertugas sebagia pengurus yang memikirkan dan menjalankan proses penyelamatan AJB Bumiputera. Namun, dia menegaskan bahwa pengelola tetap wajib memberikan laporan dari setiap proses perkembangan skema restrukturisasi AJB Bumiputera termasuk terkait investor yang terlibat di dalamnya.
Sementara itu, lembaga swadaya masyarkat, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), mengajukan somasi pada 13 Februari 2018 kepada OJK agar menghentikan aktivitas pengelola statuter dalam proses penyehatan AJB Bumiputera.
Boyamin Saiman, Koordinator MAKI, yang juga mengaku sebagai pemegang polis AJB Bumiputera menilai pengelola statuter telah gagal menjalankan proses restrukturisasi. “Alasan kedua, pengelola statuter harus dibubarkan karena tidak terdapat dasar hukumnya,” demikian tertulis dalam draf somasi tersebut.
MAKI juga meminta OJK melakukan lima tuntutan lain. Jika tidak, maka lembaga swadaya masyarakat tersebut mengancam akan mendesak Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengganti para anggota dewan komisioner otoritas periode 2017 - 2022. “Untuk bersinergi agar dapat membubarkan Dewan Komisioner OJK periode ini,” demikian tertulis dalam surat tersebut.
Undang-undang No. 40/2014 tentang Perasuransian mendefinisikan PS sebagai pihak yang ditunjuk oleh OJK untuk mengambil alih kepengurusan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
Pasal 62, UU tersebut menyebutkan bahwa otoritas dapat menetapkan PS untuk mengambilalih kepengurusan bila perusahaan telah dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha; baik karena pertimbangan OJK maupun perusahaan sendiri perusahaan diperkirakan tidak mampu memenuhi kewajibannya atau akan menghentikan pelunasan kewajiban yang jatuh tempo; melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian atau secara finansial dinilai tidak sehat. “atau menurut pertimbangan OJK, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah tersebut dimanfaatkan untuk memfasilitasi dan/atau melakukan kejahatan keuangan,” demikian tertulis dalam draf UU No. 40/2014.