TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat rasio kredit macet (NPL) sejumlah Bank Pembangunan Daerah (BPD) masih tinggi yaitu berada hampir di ambang batas aman sebesar 5 persen. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) hingga November lalu, salah satu BPD dengan NPL tinggi adalah BPD Jawa Timur atau Bank Jatim sebesar 5,07 persen. “Tapi sudah menurun lagi ya di Desember sudah 4,5 persen, Maret 2018 nanti ditargetkan turun jadi 4,4 persen, dan akhir tahun ini kami harap sudah jadi 3,7 persen,” ujar Direktur Keuangan Bank Jatim Ferdian Satyagraha, kepada Tempo, Rabu 24 Januari 2018.
Ferdian menuturkan pihaknya menerapkan sejumlah strategi untuk menekan NPL. Strategi yang dilakukan antara lain dengan melakukan assessment serta pemetaan kepada sejumlah debitur untuk penyelamatan kredit berupa rescheduling, restructuring, dan reconditioning. “Yang terbaru kami juga tengah mencari perusahaan pengelola Aset Manajemen Unit (AMU) berkualitas untuk membantu penjualan aset kredit bermasalah,” ucapnya.
Ferdian menjelaskan tingginya tingkat NPL saat ini sebagian besar merupakan akumulasi dari kredit bermasalah beberapa tahun lalu yang belum terselesaikan. “Itu angka 2014 ke bawah, kalau NPL baru nggak sampai 1 persen, problemnya ya terkait dengan penjualan aset masih ada kendala masalah teknis dan hukum atau debiturnya masih mau bayar walaupun tidak penuh, tapi sejauh ini asetnya marketable kok.”
Sedangkan, untuk jenis kredit bermasalah dengan jumlah besar, menurut dia tidak ada yang dilakukan penghapusan atau write off, sebab debitur dinilai masih memiliki kemampuan membayar dan adanya jaminan. Menurut dia, sektor ekonomi yang mendominasi NPL adalah konstruksi dan perhotelan. “Kalau consumer cenderung 0,23 persen, terbesar di komersil.” Ferdian menambahkan BPD Jatim sejauh ini terus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan terkait hal tersebut. “OJK melihat proses yang dilakukan, bagaimana progress setiap triwulan, tapi sejauh ini masih aman, aset NPL kami siap dijual, dilelang, marketable semua.”
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan terdapat sejumlah kemungkinan alasan masih tingginya tingkat NPL di BPD. “Lebih dari 40 persen penyaluran kredit mereka kan di konsumsi, lalu industri, sedangkan daya beli masyarakat sedang turun dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga stagnan jadi pasti akan kena imbasnya ke portofolio kredit BPD,” ucapnya.
Menurut Bhima, di tengah kondisi perekonomian yang masih belum stabil saat ini, BPD perlu melakukan sejumlah inovasi dan krativitas dalam mencari sektor kredit yang lebih prospektif. “Portofolio harus dirombak, biasanya kan sekarang kredit ke pegawai-pegawai daerah, sedikit sudah mulai masuk ke UMKM, kemudian diharapkan juga mereka bisa mengembangkan fee based income,” ujarnya.
Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri Andri Asmoro menuturkan BPD di satu sisi rentan untuk terjadi kredit macet karena ketatnya persaingan antara sesama BPD hingga bank umum lainnya. “Mereka harus pandai-pandai mengelola, karena beda kapasitas ya kalau BPD yang terkena segmen komersil bisnis banking, tapi sejauh ini masih aman jauh dari fraud karena OJK pengawasannya juga ketat.”
Sebelumya, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan 1 OJK Boedi Armanto menyampaikan pihaknya terus mendorong BPD untuk meningkatkan porsi kredit produktif. Hingga saat ini, porsi kredit produktif di BPD baru mencapai 30 persen. “Kami harap kredit produktif bisa lebih digenjot lagi,” Total realisasi kredit produktif BPD pada Oktober 2017 mencapai Rp 116,8 triliun atau naik 9,93 persen. Sedangkan, NPL kredit productid BPD mencapai 8,96 persen, yang berasal dari kontribusi segmen modal kerja 9,7 persen dan investasi 7,58 persen.