TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Golkar, Ichsan Firdaus, menilai kebijakan pemerintah mengimpor 500 ribu ton beras akhir Januari ini disebabkan oleh gagalnya antisipasi kondisi beras nasional sejak akhir 2017. "Keputusan ini memang merupakan pil pahit dari kurangnya antisipasi pemerintah," ujar Ichsan, dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jakarta, Jumat, 12 Januari 2018.
Menurut Ichsan, pemerintah memiliki permasalahan data produksi beras yang kurang akurat. Sebab, kata dia, jika data produksi gabah nasional tahun 2017 sebesar 38,5 juta ton dan konsumsi beras nasional sekitar 31,5 juta ton, seharusnya Indonesia surplus sekitar 7 juta ton. "Tapi awal Januari 2018 ini terjadi kenaikan harga beras yang cukup mengkhawatirkan dan meluas hampir di seluruh Indonesia," katanya.
Baca: Harga Beras Impor Naik, Masyarakat Bangka Beralih ke Beras Lokal
Ichsan menambahkan, gejolak harga beras tidak mungkin terjadi kalau saja surplus 7 juta ton beras itu tercapai. Selain itu, kata dia, stok beras di Bulog, yang berada di bawah 1 juta ton, menunjukkan posisi stok yang mengkhawatirkan. "Bahkan Wapres Jusuf Kalla juga mengakui stok beras kita memang kurang," ucapnya.
Ichsan mendesak pemerintah memberi perhatian khusus terhadap produksi beras nasional. Dia mengatakan pemerintah harus memastikan informasi yang tepat terkait dengan stok beras nasional. "Jangan sampai Presiden Jokowi mendapatkan informasi yang keliru tentang data produksi beras ini."
Sebelumnya, kenaikan harga terjadi pada beras medium di sejumlah tempat, mulai Jakarta, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah. Kementerian Pertanian menyebut kelangkaan pasokan ini membuat harga beras otomatis ikut terkerek.
Untuk menstabilkan harga, pemerintah telah memutuskan mengambil jalur impor beras. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan pemerintah akan melakukan impor beras dari Vietnam dan Thailand sambil menunggu panen raya pada Februari-Maret. Beras impor itu akan masuk ke Tanah Air pada Januari.