TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Satuan Tugas Illegal Fishing, Mas Achmad Santosa atau Ota, mengatakan selama kepemerintahan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikan sudah menenggelamkan 363 kapal asing yang mencuri ikan di wilayah Indonesia. “Itu data sampai November 2017 ya,” kata Ota kepada Tempo, Rabu, 10 Januari 2018.
Dari 363 kapal tersebut, kata Ota, Vietnam menduduki peringkat pertama dengan jumlah 190 kapal yang ditenggelamkan. Peringkat kedua yaitu Filipina dengan jumlah 76 kapal. Selanjutnya Malaysia sebanyak 50 kapal yang ditenggelamkan. Kapal-kapal lainnya yang ditenggelamkan adalah milik Thailand 21 kapal, Indonesia 21 kapal, Papua Nugini 2 kapal, RRC 1 kapal, Belize 1 kapal dan tanpa bendera 1 kapal.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan meminta Susi menghentikan penenggelaman kapal tahun ini. Menurut Luhut, opsi lain juga tersedia terkait dengan kapal-kapal pencuri ikan. Salah satunya menyita dan menjadikannya aset negara.
Namun, menurut Ota penenggelaman kapal yang dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah sesuai dengan Undang-Undang Perikanan. “Jangan dibilang penenggelaman itu kreasinya Susi Pudjiastuti,” ucapnya.
Ota menilai, Susi Pudjiastuti melakukan penenggelaman kapal-kapal tersebut karena berkomitmen melakukan penegakan hukum. “Nah, kenapa sebelum Bu Susi tidak dilaksanakan dengan tegas atau dengan sesering mungkin? Karena Ibu Susi ini komitmennya adalah menegakkan hukum dengan tegas tanpa pandang bulu.”
Menurut Ota, ada tiga jenis penenggelaman berdasarkan Undang-Undang Perikanan. Yang pertama, penenggelaman seketika yang langsung dilakukan di tengah laut. “Itu bisa dilakukan berdasarkan alat bukti yang cukup,” ucapnya.
Kedua, kata Ota, adalah penenggelaman berdasarkan persetujuan pengadilan pada tahap penyidikan atau penuntutan. “Jadi si penyidik yang meminta persetujuan ke pengadilan, si penuntutnya juga kalau dalam proses penuntutan, ya, meminta persetujuan pengadilan."
Sedangkan penenggelaman ketiga adalah penenggelaman berdasarkan putusan akhir dari pengadilan. “Jadi tiga hal itu opsi hukum berdasarkan Pasal 69 ayat 4, Pasal 76 a, lalu pasal-pasal dalam KUHAP, semua diatur,” tutur Ota.