TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai, 85 persen konsumsi listrik rumah tangga habis untuk pemakaian pendingin ruangan, kulkas, dan pompa air. “Lima belas persen sisanya habis untuk pemakaian lampu dan kebutuhan lain,” kata Fabby saat ditemui di Menteng, Jakarta pada Jumat, 24 November 2017.
Namun ia memperkirakan, tak akan terjadi peningkatan biaya listrik yang signifikan jika nantinya pemerintah menyederhanakan penggolongan listrik rumah tangga. “Kecuali jika kompor gas diganti kompor listrik,” kata dia.
Baca juga: Setelah dari Minyak ke Gas, Ada Konversi ke Kompor Listrik?
Pernyataan Fabby ini menanggapi kekhawatiran akan membengkaknya biaya listrik rumah tangga jika pemerintah jadi melakukan penyederhanan kelas golongan pelanggan listrik rumah tangga menjadi di bawah 1300 VA, 4.400 VA dan loss stroom.
Fabby mengatakan penggunaan kompor listrik dengan daya 1200 -1600 watt akan membuat konsumsi dan biaya listrik bertambah. Dari segi harga, kompor listrik dengan kualitas yang baik juga tak murah.
Ia menambahkan, peningkatan konsumsi dan biaya listrik juga akan terjadi jika tren penggunaan mobil beralih ke mobil listrik. “Karena harus diisi ulang dengan tenaga listrik,” katanya.
Melihat dari pendapatan perkapita pelanggan listrik golongan 1300 VA yang mendominasi, Fabby memperhitungkan, konsumsi listrik tak akan meningkat secara drastis dengan adanya penyederhanaan golongan listrik. “Ada rasionalitas yang terjadi dengan sendirinya.”
Ia memberi ilustrasi, peningkatan konsumsi listrik mungkin terjadi dalam 1 atau 2 bulan pertama. Namun, saat berhadapan dengan tagihan listrik yang harus dibayarkan tiap bulan, rasionalitas dalam pemakaian listrik langsung timbul. “Dengan sendirinya masyarakat akan berusaha mengurangi pemakaian listrik.”
Pemerintah berharap dengan penyederhanaan golongan listrik tersebut, tenaga listrik lebih bisa diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia.
JENNY WIRAHADI