TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja menyatakan telah terjadi tindak kecurangan dalam proses pengajuan perizinan kapal penangkap ikan. Tindak kecurangan tersebut menggunakan modus pemalsuan data kapal, yakni dengan menurunkan kapasitas kapal dari ukuran yang sebenarnya. "Itu biar bisa main tabrak izin pengadaan kapalnya," ujar Sjarief saat jumpa wartawan di gedung Mina Bahari II, Kamis, 5 Oktober 2017.
Agar hal itu tak terulang, Sjarief mengatakan pihaknya akan melakukan shock therapy kepada para pelanggar jika dibutuhkan. Adapun ancaman hukuman bagi yang memalsukan adalah pidana penjara satu tahun atau denda Rp 800 juta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan.
Menurut Sjarief, tindak kecurangan tersebut merupakan hasil kunjungan kerja KKP selama lima bulan terakhir di beberapa wilayah di Indonesia. Modus pemalsuan antara lain menurunkan (markdown) gross tonnage (GT) atau volume semua ruang di bawah geladak kapal dari yang seharusnya. Modus ini untuk memudahkan perizinan surat izin usaha penangkapan (SIUP) ikan kapal. "Kalau di bawah 30 GT, itu laporannya tidak perlu ke pusat, cukup di daerah. Kalau di atas 30 GT, harus izin ke pusat," ujarnya.
Nelayan, kata Sjarief, banyak yang mengeluhkan pengajuan perizinan ke pusat memerlukan waktu lama, sehingga banyak yang memilih memalsukan data tersebut agar perizinan SIUP cepat keluar. "Ada sekitar 11 ribu yang melakukan tindak kecurangan markdown tersebut," ujarnya.
Ia menjelaskan, selama ini proses perizinan ke pusat menjadi lama karena banyak nelayan yang menggunakan jasa calo dalam melakukan pengajuan izin tersebut. "Berkas nelayan tertahan lama itu di calonya, bukan di pusatnya," ujarnya.
M. JULNIS FIRMANSYAH