Satgas TPPU Ungkap Perkembangan Kasus Impor Emas Rp 189 Triliun, Mahfud Md: Katanya Selesai, Ternyata Belum
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 9 Juni 2023 17:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) Mahfud Md membeberkan salah satu temuan dari Satgas TPPU soal kasus impor emas senilai Rp 189 triliun yang melibatkan Direktorat Jenderal Bea Cukai (Ditjen Bea Cukai) Kementerian Keuangan.
"Yang Rp 189 triliun yang dulu sudah diumumkan katanya sudah clear, tapi ditemukan Rp 193 triliun itu belum selesai. Kemarin laporan dari Kemenkeu sendiri sudah ada, akan kita selidiki," ujar Mahfud di Komplek Senayan, Jakarta Pusat pada Jumat, 9 Juni 2023.
Selain itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan tersebut juga menyinggung kasus yang terjadi di Bandara Soekarno-Hatta yang nilai Rp 49 triliun soal importasi emas yang dinolkan DJBC di kepabeannya. "Ya sekarang dibuka oleh Kejaksaan Agung disita sudah jadi tersangka."
Menurut dia, saat ini pihak Ditjen Bea Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sudah mengambil sejumlah langkah untuk menertibkan pegawainya. "Bahkan ada Kepala Bea Cukai di daerah dirotasi hingga dilakulan pemecatan," kata Mahfud.
Pada 10 April 2023, Mahfud menjelaskan sudah ada langkah hukum yang diambil menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan (LHP) dengan nilai transaksi agregat Rp 189.273.872.395.172 atau Rp 189 triliun yang merupakan kasus impor emas di Ditjen Bea Cukai.
"Pengungkapan dugaan tindak pidana asal (TPA) dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sudah dilakukan langkah hukum terhadap tindak pidana asal," ujar Mahfud MD dalam konferensi pers di Kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) saat itu.
Mahfud mengatakan telah ada putusan pengadilan terkait kasus impor emas tersebut. Namun, Komite memutuskan untuk tetap melakukan tindak lanjut termasuk hal-hal yang selama ini belum masuk kedalam proses hukum (case building) oleh Kemenkeu.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara pernah memberikan penjelasan soal kasus tersebut. “Pada bulan Januari 2016 teman-teman Ditjen Bea Cukai itu mencegah ekspor, ekspor logam mulia, karena dikatakan ekspor perhiasan tapi ternyata isinya bukan perhiasan, tapi isinya ingot (batangan) dan itu disetop oleh Ditjen Bea Cukai,” ujar dia di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, pada Jumat, 31 Maret 2023 lalu.
Kemudian, kasus tersebut didalami dan muncul potensi tindak pidana kepabeanan. Sehingga ditindaklanjuti dengan penelitian, penyidikan, bahkan sampai ke pengadilan tindak pidana kepabeanan yang prosesnya mulai dari 2017-2019. Namun Ditjen Bea Cukai kalah di pengadilan, kemudian melawan dengan melakukan kasasi.
Selanjutnya: Dalam tingkat kasasi, Suahasil berujar...
<!--more-->
Dalam tingkat kasasi, Suahasil berujar, Ditjen Bea Cukai menang, lalu pada 2019 dilakukan peninjauan kembali atas permintaan terlapor. Di PK ini, Ditjen Bea Cukai kalah. Karena dianggap tidak terbukti tindak pidana kepabeanannya. “Teman-teman sudah mengetahui ya, sudah berkali-kali diuraikan yang namanya TPPU selalu terkait tindak pidana asalnya,” tutur dia.
Ketika tindak pidana asalnya ada maka TPPU-nya bisa mengikuti. Namun, ketika tindak pidana asalnya tidak terbukti oleh pengadilan maka TPPU-nya gugur. Itu yang terjadi pada kasus tersebut.
Selain itu, menurut Suahasil, dalam periode 2016-2019 itu ada berbagai macam pertukaran data, termasuk diskusi atau rapat yang dilakukan antara Kemenkeu dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bahkan sempat juga disebut ada nama Sekretaris Jenderal Kemenkeu Heru Pambudi yang menerima data.
Karena pada 2019 ujungnya kalah di pengadilan, kata dia, maka setahun kemudian Ditjen Bea Cukai melihat sepertinya modusnya sama dengan kasus 2016 itu. Sehingga pada 2020, Ditjen Bea Cukai kembali berdiskusi dengan PPATK untuk melihat kembali kasusnya, lalu PPATK mengirimkan kembali data mengenai modus yang terjadi.
“Ini ditindaklanjuti melalui beberapa macam rapat sampai dengan Agustus 2020 di satu rapat. Itu dikatakan bahwa kalau modusnya kasus 2016-2019 kita sudah dikalahkan di pengadilan, tindak pidana kepabeanan itu dikalahkan, modusnya sama,” kata Suahasil.
Sehingga dengan logika seperti, pada Agustus 2020 itu disepakati bahwa jika tindak pidana kepabeanannya tidak bisa, maka yang dikejar adalah kasus pajaknya. Kemudian PPATK mengirimkan lagi hasil pemeriksaan atau mengirimkan data kepada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) yang dikirimkan Oktober 2020.
Suahasil menyebutkan, Ditjen Pajak berkaitan dengan hasil pemeriksaan PPATK itu telah melakukan pemeriksaan bukti permulaan terhadap tiga wajib pajak dan pengawasan terhadap tujuh wajib pajak orang pribadi. “Setelah dipaparkan bahwa indikasi pelanggaran bidang kepabeanannya berdasarkan situasi modus yang sama pada 2019 itu dinyatakan oleh PK tidak masuk,” ucap dia.
MOH KHORY ALFARIZI | TIKA AYU
Pilihan Editor: 33 LHA Berkaitan Transaksi Mencurigakan Kemenkeu, Mahfud Md: Selama Ini Belum Berkembang
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini