Kajian UI Temukan Dugaan Kartel Minyak Goreng Tidak Didukung Bukti Kuat
Reporter
Amelia Rahima Sari
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Senin, 3 April 2023 13:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia atau LKPU-FHUI menemukan dugaan kartel oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU pada kasus minyak goreng 2021 tidak didukung bukti kuat.
"Pada tahun 2021 sempat terjadi kehebohan di mana minyak goreng yang semula harganya Rp 14 ribu perlahan-lahan beranjak naik menjadi Rp 20 ribu-an," kata Ketua LKPU-FHUI Ditha Wiradiputra dalam acara seminar di kampus UI Salemba, Jakarta pada Senin, 3 April 2023.
Dia menyebut, minyak goreng menjadi komoditas yang dibutuhkan masyarakat. Sehingga, kata dia, ketika minyak goreng naik menimbulkan goncangan bahkan bisa menyebabkan inflasi.
Atas kasus ini, Dhita mengatakan KPPU menuduh sebagian pihak melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Menurutnya, melalui aturan ini KPPU telah mendapati pelaku usaha membuat perjanjian atau kesepakatan untuk menetapkan harga minyak goreng. Tuduhan ini tidak main-main, kata dia, sehingga KPPU pasti memiliki bukti kuat.
"Sedangkan kita tahu bahwa banyak hal yang menjadi penyebab meningkatnya harga minyak goreng beberapa waktu lalu," tuturnya.
Penyebab yang dia maksud adalah meningkatnya harga CPO atau minyak sawit mentah, perang Rusia Ukraina, hingga berbagai kebijakan pemerintah seperti DMO (kewajiban pasar domestik) dan DPO (kewajiban harga domestik), Harga Eceran Tertinggi atau HET minyak goreng sebesar Rp 14 ribu, dan Bantuan Langsung Tunai atau BLT minyak goreng.
Selanjutnya: KPPU dinilai harus memiliki bukti uang lebih kuat
<!--more-->
Dia melanjutkan, hal yang menarik adalah bukti KPPU yang menyebutkan pelaku usaha telah melakukan perjanjian pengaturan harga. Ternyata, kata dia, adanya pertemuan-pertemuan di asosiasi ditengarai KPPU sebagai bagian dari kesepakatan tersebut.
"Apakah seperti itu hukum persaingan usaha memandang alat bukti? Tidak seperti itu. Undang-Undang Persaingan Usaha tidak melarang untuk berkumpul, untuk bertemu," kata Dhita.
Menurut Dhita, bukti tersebut tidak cukup kuat untuk mengatakan para pelaku usaha melakukan pematokan harga atau price fixing. Dia menilai, harusnya KPPU memiliki bukti uang lebih kuat seperti rekaman, email, dokumen kesepakatan, dan sebagainya.
Selain dituntut dengan Pasal 5 UU 5/1999, pelaku usaha terkait juga dituntut dengan Pasal 19 Huruf C UU 5/1999. Investigator KPPU dalam LDP (Laporan Dugaan Pelanggaran)-nya menyatakan para terlapor secara bersama-sama membatasi peredaran dan/atau penjualan yang mengakibatkan kekurangan pasokan atau bahkan kelangkaan minyak goreng.
Tuntutan tersebut berdasarkan keterangan maupun bukti dokumen purchase order dan delivery order beberapa distributor dan peritel pada 2021 hingga awal 2022 yang menunjukkan penurunan pasokan minyak goreng kemasan.
Namun, kajian Tim LKPU-FHUI menyatakan bukti-bukti tersebut kurang relevan karena sejumlah pelaku usaha yang menjadi terlapor tidak mendistribusikan dan menjual produk minyak goreng kemasan ke ritel modern maupun pasar tradisional.
“Data tren volume produksi dan volume penjualan minyak goreng kemasan periode Januari 2020 sampai Mei 2022 yang disampaikan pelaku usaha juga menunjukan tidak terdapat selisih signifikan antara volume produksi dengan volume penjualan selama periode dugaan pelanggaran. Ini menjadi bukti, terlapor tidak melakukan pembatasan peredaran atau penjualan minyak goreng,” ungkapnya.
Pilihan Editor: Minyakita Masih Langka, KPPU: Produksinya Hanya 24 Persen dari Suplai yang Ditentukan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini