Pengusaha Minta Penetapan UMP Berbasis PP 36/2021: Jika Tidak, Banyak Industri Gulung Tikar
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 16 November 2022 20:59 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani merespons rencana pemerintah menaikkan upah minimum provinsi atau UMP pada tahun 2023.
Ia meminta pemerintah tetap menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai dasar dalam menetapkan UMP maupun upah minimum kabupaten/kota (UMK).
"Dengan adanya rencana penetapan formulasi baru dalam penghitungan kenaikan UMP atau UMK 2023, berarti pemerintah menganulir upaya bersama yang dimotori pemerintah sendiri dalam penyusunan UU Cipta Kerja," kata Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers secara virtual pada Rabu, 16 November 2022.
Baca: Bos Kadin Setuju UMP 2023 Perlu Dinaikkan, Tapi Jangan Membebani Pengusaha
Menurut Hariyadi, jika bukan PP 36 tahun 2021 yang dijadikan basis perhitungan UMP, pelaku industri padat karya seperti tekstil, garmen, hingga alas kaki diprediksi bakal gulung tikar. Sebab, mereka tak lagi mampu memenuhi ketentuan legal formal karena tak mampu membayar kenaikan upah tersebut.
Demikian juga dengan para pelaku usaha UMKM yang terpaksa menjalankan usaha secara informal, menurut dia, bakal sulit mendapatkan dukungan program program pemerintah dan akses pasar yang terbatas.
Selain itu, kata Hariyadi, pencari kerja pun akan kesulitan karena butuh waktu tunggu lebih lama untuk mendapatkan pekerjaan formal yang layak. Hal ini karena lapangan kerja akibat sistem pengupahan yang tidak kompetitif.
Tak hanya mendesak agar PP Nomor 36 Tahun 2021 yang dijadikan sebagai acuan, Apindo meminta pemerintah menetapkan UMP dan UMK berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan perubahannya UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020. Apalagi, saat ini prospek dunia masih belum jelas lantaran kondisi ekonomi global yang semakin lesu dan ancaman resesi di tahun depan.
Selanjutnya: Hal senada disampaikan oleh Ketua Aprisindo..
<!--more-->
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko. Ia menilai rencana pemerintah dalam mengubah PP 36 tahun 2022 akan merugikan banyak pihak.
Ia bahkan menduga ada pihak ingin mengganggu industri padat karya. "Saya pikir kalau presiden mengatakan tahun depan itu sulit, harusnya paham. Jangan bisa diakomodir oleh menteri atau orang-orang yang menurut saya mengganggu industri padat karya," kata dia.
Menurut dia, pemerintah juga harus berpikir ulang, terlebih saat ini sedang terjadi pemutusan hubungan kerja massal di sejumlah perusahaan industri padat karya. Bila perusahaan terus tertekan, akan lebih banyak pabrik-pabrik yang tutup.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSYFI), Redma Gita Wirawasta menilai perubahan aturan PP Nomor 36 Tahun 2021 hanya memperpanjang keterpurukan dunia usaha tekstil. "Ini juga akan membuat membuat buruk citra kita di mata investor, kok ada hukumnya tapi berubah-ubah," katanya.
Saat ini situasi industri hulu di sektor tekstil tengah berusaha bertahan dari krisis di tengah kondisi cash flow yan seret karena persaingan pasar yang semakin ketat dan turunnya penurunan pesanan, ditambah lagi beban biaya listrik, pajak, hingga upah karyawan.
Bahkan, sudah ada beberapa perusahaan yang sudah tidak kuat beroperasi dan akhirnya mem-PHK karyawan. "Kalau pemerintah konsisten dengan aturan-aturan yang sudah dijalankan, saya kira ke depan kita tidak akan terpuruk terlalu dalam," tuturnya.
Baca juga: Kemnaker: Gubernur Akan Umumkan Besaran Upah Minimum 2023 Bulan Ini
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.