Harga TBS Rendah, Apkasindo Bantah Kemendag Soal Tangki CPO Penuh
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Martha Warta Silaban
Rabu, 27 Juli 2022 16:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo) menanggapi ucapan Menteri Perdagangan soal tangki crude palm oil (CPO) yang penuh sebagai alasan tingginya harga tandan buah segar atau harga TBS.
"Jika merujuk ke PKS (pabrik kelapa sawit), yang mengatakan tangki penuh dapat terbantahkan karena truk tronton CPO dari PKS selalu keluar mengangkut CPO ke refinary atau pelabuhan," tuturnya kepada Tempo pada Selasa, 27 Juli 2022.
Jika merujuk ke refinary atau eksportir, kata dia, ternyata ekspor terus berlangsung. Ia mengatakan per tanggal 1 sampai 23 Juli 2022, ekspor CPO dan 26 turunannya sudah terlaksana sebanyak 1,3 juta ton. Sedangkan pada Juni 2022, total ekspor 2,91 juta ton. Angka itu 28 persen lebih tinggi ketimbang jumlah ekspor pada Juli 2021.
"Jadi jika dibilang ekspor tidak ada, itu adalah info yang sesat, namun jika dikatakan ekspor CPO melambat dan sisa stok CPO menumpuk akibat sisa stok April dan Mei, itu baru benar adanya," kata Gulat.
Ia mengatakan anjloknya ekspor hanya terjadi pada Mei 2022. Anjloknya saat itu mencapai 67 persen atau 1,01 juta ton, jika dibandingkan ekspor pada Mei 2021, yakni 3,09 juta ton.
"Perlu diketahui bahwa ekspor ini hanya 7 persen CPO. Ini sedikit, dari total 26 jenis barang yg di ekspor berbahan baku minyak sawit, sisanya adalah dalam bentuk turunan CPO dan produk sampingan seperti cangkang," kata dia.
Adapun harga TBS petani sawit pada 23 dan 25 Juli 2022, menurut Gulat, sudah meningkat meski tidak signifikan. Kenaikannya hanya sekitar Rp 25 samlai Rp 50 per kilogram TBS. "Tentu ada yang salah jika demikian?" ucapnya.
Namun, jika dihitung sejak terbitnya PMK nomor 115 terbit yang mengatur penghapusan pungutan ekspor pada 16 Juli 2022, Gulat mengatakan secara keseluruhan harga TBS naik Rp 250 per kilogram.
Apkasindo mencatat di 22 provinsi penghasil sawit, rata-rata harga TBS petani swadaya non mitra di PKS adalah Rp 1.250-1300 per kilogram. Sedangkan petani bermitra, harga TBS miliknya sebesar Rp1.500 sampai Rp1600 per kilogram. Menurut Gulat, harga itu di pedagang pengumpul hanya berkisar Rp 450 sampai Rp 600 per kilogram TBS.
"Sejak terbitnya PMK 115, tidak ada kenaikan signifikan. Hanya sekitar Rp 50 sampai Rp 250 per kilogram," tutur Gulat. <!--more-->
Sementara itu, ia berujar harga CPO berdasarkan tender PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) sebelum PMK terbit berkisar Rp7 ribu hingga Rp 8 ribu per kilogram CPO. Sejak PMK 115 terbit, kata Gulat, harga CPO maksimum berada di angka Rp 9.250 per kilogram dan selanjutnya turun seperti hasil tender KPBN tanggal 25 Juli lalu, yaitu Rp 8.750 sampai Rp 9.105 per kilogram.
Gulat menyatakan seharusnya sejak PMK 115 terbit, minimum harga CPO naik Rp 3 ribu per kilogram. "Jika ditransmisikan ke harga TBS, maka seharusnya naik paling tidak Rp 1 ribu per kilogram. Idealnya harga CPO Rp 12rb per kilogram dan harga TBS Petani Rp2.450 per kilogram," ucap Gulat.
Sementara itu, menurut Gulat anggapan bahwa kebijakan pemerintah dalam menghapus pungutan ekspor tidak mempengaruhi laju export, tidak sepenuhnya benar. Sebab, dengan hilangnya pungutan ekspor yang nilainya US$ 200 per ton telah menaikkan margin eksportir. "Paling tidak Rp 3 juta per ton CPO. Ini tentu menambah semangat eksportir," ucap Gulat.
Namun, ekspor CPO memang melambat sejak larangan ekspor dicabut pada 19 Mei 2022. Hal itu disebabkan benerapa faktor, antara lain DMO, DPO, fussh out (FO), pungutan ekspor (PE) dan Bea Keluar (BK). Menurut Gulat lima faktor itu adalah beban ekspor.
Ia berujar, pemerintah baru menghapus satu beban. Gulat pun meminta pemerintah pun mencabut kebijakan DMO, DPO, dan FO. "Kami petani sawit dan semua stakeholder sawit saling bersepakat bahwa DMO dan DPO sudah saatnya dikesampingkan sementara, karena sudah tidak sesuai dengan tujuannya," ucap Gulat
Sedangkan aturan FO, menurutnya memang sudah seharusnya dihapus lantaran sudah berakhir masa berlakunya per akhir Juni 2022.
Menurut dia, sampai saat ini DMO, DPO dan FO selalu menjadi beban saat tender KPBN sehingga sangat menekan harga CPO di KPBN. Namun, harga CPO tidak terlalu anjlok jika merujuk pada Permendag nomor 55 tahun 2015 tentang harga referensi CPO Kementerian Perdagangan.
Ia menyebutkan, jika dikurangi beban-beban ekspor tadi yang jumlahnya mencapai US$488, harga CPO menjadi Rp16.900 per kilogram. Kemudian harga TBS menjadi Rp 3.380 per kilogram. Sementara harga CPO di KPBN per 25 Juli 2022 hanya Rp 8.750 sampai Rp 9.105 per kilogram.
"Oleh karena itu harga CPO harus dikembalikan ke jalur pemerintah (Kementerian Perdagangan), masak nasib 17 juta petani di tender di KPBN?" kata dia.
Menurutnya, Kementerian Perdagangan tidak perlu khawatir jika DMO dan DPO dicabut akan menjadikan bahan baku minyak goreng langka. Karena, kata dia, mengesampingkan DMO dan DPO itu bersifat sementara sampai stok CPO dalam negeri normal kembali dari 7,2 ton menjadi 3-4 juta ton. <!--more-->
Untuk menjamin ketersediaan minyak goreng, menurutnya pemerintah bisa memberi subsidi dari dana sawit Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). "Jadi berapapun harga CPO dunia, harga MGS Rakyat tetap sesuai HET pemerintah, clear," ucapnya.
Adapun Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpendapat masalah utama dalam sengkarut minyak goreng ada pada tingkat distribusi.
"Kalau kita menelusuri masalah kelangkaan minyak goreng, sebetulnya masalahnya itu ada di tingkat distribusi dari produsen sampai ke konsumen daripada permasalahan suplai," ujarnya saat dihubungi Tempo, Selasa, 26 Juli 2022.
Menurutnya, suplai minyak goreng sebetulnya meningkat dan jumlahnya masih sangat besar. Tetapi, kebijakan DMO diperlukan untuk menjamin sisi supply di hulu. Jadi kalau seandainya DMO itu dihapus, semestinya konsumen tidak akan terdampak.
"Namun karena distrbusi minyak goreng belum lancar, maka sebaiknya DMO tetap diberlakukan dalam level tertentu," kata dia. Oleh karena itu, ia berujar pemerintah harus memastikan suplai pada level tertentu agar kekhawatiran minyak goreng menjadi langka bisa dihindari.
"Kalau saya sih sebetulnya DMO itu dibutuhkan dalam level tertentu sampai 10 hingga 20 persen," tuturnya. Jadi pengusaha tetap bisa mengekspor tetapi pasokan domestik juga bisa dipastikan dengan DMO.
Di sisi lain, menurutnya harus ada kebijakan yang dapat mengatasi permasalahan suplai supaya pasokan dalam negeri dapat terjaga. Ia menuturkan jika cara yang dipilih pemerintah adalah DMO sebaiknya presentasenya jangan terlalu besar. Sebab, akan menghambat para pengusaha terutama yang eksportir.
"Karena sawit itu kan pasar paling besar memang ekspor," kata dia. Sehingga, jika ekspor dihambat pasti para pelaku usaha akan gulung tikar. Ditambah petani juga akan terdampak karena harga tandan buah segar (TBS) yang anjlok.
Dalam jangka panjang, menurutnya perlu ada intervensi yang lebih jauh dari pemerintah di hulu industri kelapa sawit. Musababnya, industri kelapa sawit lebih banyak dikuasai oleh swasta dibandingkan pemerintah. Berbeda dengan industri bahan bakar minyak (BBM) yang dikuasai badan usaha milik negara (BUMN) PT Pertamina (Persero).
Baca Juga: CORE: DMO CPO Tetap Dibutuhkan untuk Cegah Kelangkaan Minyak Goreng
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.