Kasus Pemalsuan Deposito BNI Rp 110 M, Kinerja OJK Dikritik
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 16 September 2021 10:24 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengawasi industri finansial di tanah air. Salah satunya karena kasus terus berulang, seperti yang terbaru pemalsuan 9 deposito Rp 110 miliar di PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk.
"Mau tidak mau, harus dikatakan untuk industri finansial, memang menyangkut pengawasan OJK yang kurang efektif," kata Ketua YLKI Tulus Abadi saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 16 September 2021.
Sebelumnya, kasus dugaan pemalsuan bilyet deposito terjadi di kantor BNI cabang Makassar, Sulawesi Selatan. Bareskrim Polri telah menetapkan tiga tersangka, salah satunya Melati Bunga Sombe, pegawai BNI di kantor cabang tersebut.
BNI juga telah melakukan investigasi dan menemukan kejanggalan. Di antaranya deposito tidak masuk ke dalam sistem bank, tidak diteken pejabat bank yang sah, dan tidak ditemukan adanya setoran nasabah untuk pembukaan rekening.
"Hal-hal tersebut telah menunjukkan bahwa terkait penerbitan maupun transaksi-transaksi yang berkaitan dengan Bilyet Deposito tersebut, dilakukan tanpa sepengetahuan dan keterlibatan Bank," kata kuasa hukum BNI Ronny LD Janis.
Tapi dalam kasus BNI ini, kata Tulus, nasabah tentu menyetorkan dana mereka yang kemudian dikonversi menjadi deposito. Transaksi juga dilakukan melibatkan internal bank.
Tapi, pihak BNI justru mengatakan transaksi tidak tercatat di sistem. Padahal, lalu lintas uang ini tentu bisa dipantau oleh pihak bank. "Ini kan aneh," kata dia.
<!--more-->
Salah satu nasabah yang kehilangan uang, Andi Idris Manggarabni, juga memastikan mereka memiliki bukti setoran dana tersebut. Andi mengirim uang melalui Real-Time Gross Settlement (RTGS) dari berbagai bank ke rekening BNI miliknya.
"Yang ada di BNI itu jelas sekali itu ada rekening korannya kok," kata kuasa hukum Andi Idris, Syamsul Kamar.
Menurut Tulus, kejadian di industri keuangan semacam ini, seperti yang menyangkut dana nasabah, memang mendominasi. Di YLKI, pengaduan terkait jasa keuangan hingga leasing menempati urutan tiga besar. "Artinya ada persoalan pengawasan yang harus dikritisi," kata dia.
Tahun 2019, 46 persen dari total pengaduan konsumen yang diterima YLKI adalah di sektor jasa keuangan. Tahun 2020, angkanya bisa menurun jadi 33 persen. Tapi saat pandemi ini, Tulus menyebut angkanya bisa naik kembali.
Tulus mengkritik aspek pengawasan karena pengaduan semacam ini tidak lagi mendominasi di beberapa negara maju, seperti contohnya Singapura. Di sana, kata dia, sangat jarang ada pengaduan terkait jasa keuangan. Artinya, pengawasan di sana berjalan efektif. "Hanya sekitar 12 sampai 15 persen saja," kata Tulus.
Untuk itu, YLKI pun meminta OJK bisa bisa melakukan beberapa perbaikan. Pertama, memastikan sistem rekrutmen di industri keuangan berjalan baik. Sebab, kasus di perbankan ini juga melibatkan pegawai bank sendiri, seperti di kasus BNI.
Kedua, YLKI juga meminta OJK mengaduit keandalan sistem informasi dan teknologi di perbankan. Menurut dia, ini persoalan klasik yang menjadi titik lemah selama ini. "Perlu diaudit, agar tidak gampang diretas, ataupun dibobol," ujar Tulus.
Tempo menghubungi Kepala Eksekutif Pengawasa Perbankan OJK Heru Kristiyana untuk mengkonfirmasi soal kasus pemalsuan deposito di BNI ini. Hingga berita ini ditulis, OJK belum memberi respons.
BACA: OJK Minta Nasabah Waspadai Modus Terbaru Pinjol Ilegal: Transfer Dana Mendadak