Cerita Arcandra Tahar soal Negara Kaya Minyak Nigeria yang Beralih ke Gross Split
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 19 Agustus 2021 12:29 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar bercerita soal keputusan salah negara kaya minyak di benua Afrika, Nigeria, yang mereformasi undang-undang migas mereka. Salah satunya yaitu dengan mengubah sistem cost recovery menjadi gross split (tax and royalty) pada tgl 16 Agustus 2021.
Selain Nigeria, ada juga Petronas Malaysia yang mulai menawarkan sistem Gross Split di awal tahun 2021 untuk Small Field Asset (SFA), dari sebelum Cost Recovery. Sementara Indonesia, kata Arcandra, sudah memperkenalkan sistem gross split sejak Desember 2016.
"Selangkah lebih maju dari Malaysia dan Nigeria," kata Arcandra di akun instagramnya pada Kamis, 19 Agustus 2021. Blok Rokan yang kini dikelola oleh Pertamina pun, kata dia, juga menggunakan Gross Split.
Menurut Arcandra, sistem bagi hasil Gross Split mulai banyak dilirik sebagai ganti dari sistem Cost Recovery yang sudah dipakai sejak tahun 1970-an. Secara garis besar kata dia, perbedaannya terletak pada bagaimana minyak dan gas yang diproduksi tersebut dibagi.
Pada sistem cost recovery, negara mendapat bagian dari minyak dan gas yang diproduksi setelah semua cost dibayarkan ke kontraktor. Misalnya produksi 100 barrel (bbl) dan ongkos produksi 80 bbl, maka sisa 20 bbl dibagi antara negara dan kontraktor.
Jika aturan bagi hasil antara negara dan kontraktor adalah 85 persen dan 15 persen, negara akan mendapatkan 17 bbl dan kontraktor 3 bbl. Tapi keseluruhan, kontraktor sebenarnya mendapat 83 bbl (80+3).
Kelemahan dari sistem cost recovery ini, kata Arcandra, adalah saat ongkos produksi naik menjadi 90 bbl. Sisa produksi yang bisa dibagi hanya tinggal 10 bbl. Artinya negara hanya dapat 8,5 bbl dan kontraktor dapat 91,5 bbl. "Semakin tinggi ongkos produksi yang dikeluarkan kontraktor maka semakin sedikit negara mendapatkan bagiannya," ujarnya.
<!--more-->
Berbeda degan cost recovery, sistem gross split membagi bagian negara dari produksi kotor. Misalnya produksi 100 bbl maka bagian negara (split atau royalty) 15 bbl yang ditetapkan besarannya diawal, tergantung dari karakteristik dari blok migas tersebut, bukan bergantung dari ongkos produksi. Kontraktor akan mendapat 85 bbl yang sudah termasuk biaya produksi.
Kalau kontraktor berusaha untuk lebih efisien pengurangan biaya ini menjadi milik kontraktor. Sebaliknya jika kontraktor tidak efisien mereka sendiri yang menanggung akibatnya. "Artinya, inefisiensi kontraktor tidak berdampak kepada bagian negara," ujar Arcandra.
Perumpanaan lain, kata Arcandra, seperti pada bagi hasil antara petani penggarap dan pemilik sawah. Dalam sistem cost recovery, ongkos pupuk, pestisida, irigasi, bibit dan perawatan sebelum panen ditalangi oleh petani penggarap. Lalu saat panen, semua biaya dibayar oleh pemilik sawah lewat produksi gabahnya.
Saat panen 100 karung dan biaya produksi 80 karung, maka 20 karung sisanya dibagi antara petani penggarap dan pemilik sawah. Kalau petani penggarap mengajukan biaya lebih tinggi, maka pemilik akan mendapatkan bagian yang makin sedikit. "Bagaimana kalau penggarap mangajukan biaya sampai 95 karung karena berbagai alasan? Pemilik sawah hanya bisa gigit jari, tidak bisa menikmati hasil panen yang sesuai," ujarnya.
Sementara dengan sistem gross split, pemilik sawah dijamin untuk mendapat bagiannya, misalnya 15 karung dari 100 karung gabah yang dihasilkan. Penggarap akan dapat 85 karung. Kalau petani penggarap mau bekerja keras sehingga ongkos produksi bisa ditekan, maka efisiensi ini akan dinikmati oleh penggarap.
Kalau tiba-tiba harga gabah anjlok dan ongkos produksi melebihi hasil panen 100 karung, maka bagian pemilik sawah akan mengecil agar kerugian penggarap terbantu dalam sistem gross split. Sementara kalau harga gabah tinggi, maka bagian pemilik lebih besar. "Ini adalah salah satu cara agar kontrak antara penggarap dan pemilik bisa lebih adil," ujarnya.
Di industri migas, kata Arcandra Tahar, penggarap adalah perusahaan minyak seperti Pertamina, Medco, Chevron, ExxonMobil, Shell dan lain-lain. Sementara pemilik sawah adalah negara atau pemilik blok migas.
Baca: Yusuf Mansur Borong Saham REAL Rp 30 Miliar, Bagaimana Prospeknya?