Staf Sri Mulyani Ungkap 5 Fakta Utang RI: Klarifikasi Banyak Tuduhan
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 23 Februari 2021 17:33 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Staf khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo kembali menjelaskan posisi utang Indonesia. Sampai hari ini, kata Prastowo, proyeksi rasio utang publik maupun penambahan utang Indonesia termasuk yang paling rendah dibandingkan dengan negara lainnya.
"Ini sekaligus mengklarifikasi banyak tuduhan seolah-olah kita ini tukang utang dan utang kita sudah tidak aman," kata Prastowo dalam webinar Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta, Selasa, 23 Februari 2021.
Selama ini, isu utang memang menjadi bahan kritik utama ke pemerintah Jokowi. Salah satu misalnya datang dari eks staf khusus Menteri ESDM Said Didu pada September 2020. "Perlu diwaspadai adanya mafia utang yg menjebak NKRI karena selain jumlah yang makin besar, juga bunga makin tinggi - bunga jauh lebih tinggi dari bunga utang negara lain," kata dia.
Sehingga dalam acara ini, Prastowo kemudian menampilkan lagi beberapa data mengenai utang Indonesia, berikut di antaranya:
1. Proyeksi IMF
Prastowo mengutip laporan International Monetary Fund (IMF) soal posisi utang Indonesia dan beberapa negara. Data ini menunjukkan kenaikan utang dari rata-rata 2015-2019 ke 2020.
Dari data tersebut, utang Indonesia pada mencapai 38,7 persen dari PDB pada 2020. Ini meningkat 8 persen dibandingkan rata-rata 2015-2019 yang hanya 30,5 persen.
Posisi ini lebih rendah dari beberapa negara berpenduduk besar di dunia. Mulai dari India dengan rasio utang 89,3 persen PDB (kenaikan 17 persen), Cina 61,7 persen PDB (kenaikan 9,1 persen), hingga Amerika Serikat 131,2 persen PDB (kenaikan 22,5 persen).
<!--more-->
2. Di Bawah Batas 60 Persen
Menurut Prastowo, utang sebesar 38,7 persen pada 2020 ini masih di bawah ketentuan UU Keuangan Negara. Sebab, UU ini membatasi jumlah utang Indonesia maksimal 60 persen dari PDB.
3. Tren 10 Tahun Terakhir
Prastowo mengatakan kenaikan utang di tahun 2020 ini memang terjadi akibat pandemi Covid-19. Sementara dalam 10 tahun terakhir, rasio utang bisa dijaga di bawah atau sekitaran 30 persen PDB.
Pada tahun 2010, total utang pemerintah mencapai Rp 1.681,65 triliun (24,5 persen dari PDB). Utang ini terdiri dari dua sumber, yaitu pinjaman Rp 617,25 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) Rp 1.064,4 triliun.
Lalu pada 2019, rasio utang naik menjadi 30,2 persen. Barulah pada 2020, total utang pemerintah mencapai Rp 6.074,56 triliun (38,7 persen PDB). Sumbernya yaitu pinjaman Rp 852,91 triliun dan SBN Rp 5.221,65 triliun.
4. Tax to Debt Ratio
Selanjutnya, Prastowo menyebut perbandingan penerimaan pajak terhadap utang (tax to debt ratio) Indonesia cukup bagus dibandingkan banyak negara. Saat ini, rasio di Indonesia mencapai 38,32 persen.
<!--more-->
"Hanya dibawah Turki (81,61 persen) dan Afrika Selatan (46,54 persen)," kata Prastowo. Tapi, rasionya lebih tinggi dari negara lain seperti Malaysia (21,83 persen), Singapura (11,93 persen), Thailand (35,73 persen), hingga Brazil (14,05 persen).
5. DSR to Income
Prastowo juga menampilkan data perbandingan rasio utang dengan pendapatan negara alias Debt Service Ratio (DSR) to Income. Pada tahun 2020, rasionya mencapai 28,1 persen.
Kemudian terus menurun sampai ke titik terendah pada 2012 ke posisi 11,3 persen. Artinya, semakin sedikit uang negara yang keluar untuk bayar utang.
Tapi setelah itu, rasionya terus menanjak sampai ke posisi 18,4 persen pada 2019. Menurut Prastowo, kenaikan lebih disebabkan oleh meningkatnya jumlah pinjaman jatuh tempo. Sehingga menambah porsi cicilan pokok.
Hingga pada 2020, kenaikan utang semakin tinggi yaitu ke posisi 23,8 persen. "Memang naik karena pandemi," kata Prastowo.
BACA: Sri Mulyani: 15 Persen Rakyat Belum Dapat Sumber Air Minum Layak
FAJAR PEBRIANTO