Penyelundupan Tekstil, Ini Ragam Penyebab dan Modusnya
Reporter
Larissa Huda
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 14 Januari 2021 11:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Importasi ilegal masih membayangi industri tekstil dan produk tekstil tanah air. Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Suharno Rusdi berujar importasi ilegal tekstil yang cukup marak dua tahun terakhir.
Pada Agustus tahun lalu, Kejaksaan Agung RI mengungkap temuan 566 kontainer berisi bahan tekstil dengan modus pengurangan volume (under volume) dan jenis barang untuk mengurangi kewajiban bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) atau safeguard.
Pada kasus kedua, adanya penyelundupan 27 kontainer bahan tekstil dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. Menurut Suharno, kedua temuan tersebut negara telah dirugikan sebesar Rp 1,6-1,7 triliun. Meski begitu, Suharno meyakini bahwa angka kerugian sebenarnya bisa jauh lebih besar apabila aparat mengusut penyalahgunaan fungsi Pusat Logistik Berikat (PLB) yang terjadi pada 2019.
"Kerugian negara saya kira akan jauh lebih besar dari angka itu. Kita tau, sebelum dua kasus itu terbongkar, importasi ilegal tekstil telah terjadi di beberapa PLB," ujar Suharno, kepada Tempo, Rabu 13 Januari 2021.
Suharno menduga telah terjadi manipulasi dokumen impor di sejumlah PLB. Temuan dua kasus importasi tekstil ilegal lewat Pelabuhan Batam dan Surabaya tersebut merupakan pelarian modus para penyelundup dari PLB yang merasa terganggu, kemudian mengalihkan kegiatannya ke Batam dan Surabaya. Menurut dia, penyebab utama maraknya impor ilegal adalah disparitas harga yang tinggi antara produk dalam negeri dan impor.
“Disparitas harga yang tinggi bisa disebabkan oleh berbagai hal, misalnya supply demand yang tidak seimbang, tata kelola industri yang tidak efisien, bunga pinjaman yang tidak kompetitif, supply chain yang tidak bagus serta infrastruktur yang tidak mendukung,” kata dia.
<!--more-->
Menurut Suharno, BMTPS atau safeguard memang sering menjadi instrumen yang diterapkan dalam keadaan darurat untuk menekan dampak impor dan menyelamatkan industri dalam negeri. Namun, Suharno berujar instrumen tersebut hanya bersifat sementara. Menurut dia, untuk menghentikan importasi ilegal jangka panjang dan permanen, perlu ada perbaikan industri secara fundamental dan struktur industri tekstil itu sendiri.
"Misalnya, mengurangi ketergantungan bahan baku yang terlalu tinggi, menciptakan biaya produksi yang kompetitif, dukungan bungan pinjaman yang lunak, dan lainnya," kata Suharno.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan disparitas harga bukanlah satu-satunya penyebab importasi tekstil dan produk tekstil masih marak terjadi. Menurut dia, biaya produksi produk Indonesia tak kalah kompetitif dibandingkan negara lain, selisihnya hanya sekitar 10 persen. Menurut dia, disparitas tekstil di pasar lokal terjadi karena praktik curang atau unfair.
"Kalau barang Cina masuk ke Indonesia akan dapat rabat 10 persen. Karena dapat rabat, mereka turunkan harga, itu sama saja praktik dumping. Dari situ sudah ada disparitas harga" tutur Redma. Atas praktik kecurangan lewat fasiltas dari negaranya Redma menambahkan disparitas harga mencapai 20-25 persen.
Tak sampai di situ, begitu produk masuk ke Indonesia, pengimpor melakukan praktik under invoice dan under volume sehingga bayar pajak dan bea masuk menjadi rendah. Dengan modus seperti itu, secara otomatis kewajiban membayar pajak jadi lebih rendah sehingga memicu disapritas harga. "Kalau dikatakan produk kita tidak berdaya saing itu tidak tepat karena produsen dalam negeri masih bisa lakukan ekspor," kata Redma.
<!--more-->
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan popluasi indonesia yang besar dijadikan sasaran pangsa pasar ekspor tekstil dunia, misalnya dari Cina, Bangladesh, dan Vietnam. Pada saat yang bersamaan, pasar Indonesia masih berorientasi pada produk murah atau mementingka barang yang murah.
"Jadi bisa dibayangkan Cina, Vietnam, dan Bangladesh yang menjadi produsen tekstil dunia, kalau barang sisanya saja 3 persen dari jumlah produks dikirim ke Indonesia, maka industri kita akan seperti apa," ujar Jemmy.
Jemmy berharap ada regulasi yang bisa menekan potensi importasi tekstil dan produk tekstil. Menurut dia, kalau industri dalam negeri yang merupakan padat karya itu kolaps, maka peningkatan jumlah pengangguran tidak bisa dibendung. Tak hanya itu, industri tekstil juga berkaitan erat dengan pelaku IKM. "Kalau industri tekstil banjir impor, bukan hanya industri tetapi juga IKM juga terdampak," kata dia.
Koordinator Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Rudi Margono mengatakan masih ada celah untuk melakukan importasi ilegal. Menurut dia, modus yang paling umum adalah impor yang melebihi kuota dari yang ditetapkan.
Dia mengatakan Batam dan Surabaya masih menjadi pintu utama datangnya tekstil ilegal. "Dokumen dimanipulasi. Isi jumlah kontainer beda dengan dokumen. Ada kongkalikong dengan penerima," kata dia.
Baca: Kedelai Batan Diklaim Tinggi Protein dan Rendah Lemak dibanding Produk Impor
LARISSA HUDA